Mohon tunggu...
Humaniora

Sedikit Anak Banyak Rezeki

7 September 2015   21:56 Diperbarui: 7 September 2015   21:56 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah jamak dimaklumi, ulama dari aras konservatif/salafiah secara tegas berpandangan bahwa kita seyogianya beranak-pinak sebanyak-banyaknya, tak ada batasan. Tidak ada alasan apa pun yang bisa menghalangi kita untuk memproduksi anak sebanyak yang kita mau. Pendapat ini merujuk pada dalil normatif yang sharih, yakni hadis Nabi Saw, di mana beliau bersabda: “Nikahilah perawan-perawan yang subur dan penyayang, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian.” (Al-Nasai, dalam Shahih-nya, dari Ma’qal bin Yasar, hadis no: 3227). Riwayat-riwayat yang sejenis hadis ini cukup banyak, dengan derajat sahih, sehingga lalu para ulama pendukung banyak anak menyimpulkan bahwa perintah Nabi Saw agar kita beranak banyak adalah sesuatu yang qath’iy (tegas), tidak diragukan dan tidak bisa dibantah dengan alasan apa pun.

 

Empat Catatan

Namun demikian, meski sahih, bukan berarti hadis-hadis semacam itu lolos begitu saja dari kritisisme. Sejumlah catatan mungkin bisa dipaparkan di sini. Pertama, harus dilihat terlebih dulu konteks historis hadis tersebut. Pada zaman Nabi, umat Islam masih sedikit secara kuantitas. Padahal, untuk meneguhkan eksistensi Islam dan kaum Muslim secara geopolitik di Jazirah Arab dan sekitarnya kala itu (abad VII H), aspek kuantitas, populasi, menjadi sesuatu yang mutlak. Maka dari itulah, Nabi merasa perlu memberi dorongan, perintah, untuk menggenjot reproduksi umat Islam, sehingga populasinya semakin bertambah secara signifikan.

Kedua, dari logika kalimatnya, tampak jelas bahwa perintah Nabi dalam hal ini bukan sesuatu yang sifatnya doktrinal dan tidak terlampau prinsipil dalam ranah keberagamaan. Nabi tidak mengaitkan perintahnya itu dengan soal (kompensasi) pahala atau dosa, dengan surga atau neraka, tetapi lebih pada soal “kepentingan” pribadi beliau, yakni soal gengsi eskatologis. Nabi tidak mengatakan bahwa yang banyak anak itu Muslim yang taat, dan akan masuk surga, atau sebaliknya: yang sedikit anak berarti tidak taat, dan akan dimasukkan neraka. Kompensasi dari anjuran banyak anak itu justru untuk beliau sendiri, yakni kebanggaan akan banyaknya jumlah umat di hadapan nabi-nabi yang lain kelak di hari kiamat. Jadi, hemat saya, terlampau berlebihan untuk memposisikan anjuran banyak anak itu sebagai sesuatu yang qath’iy (pasti) atau absolut.

Ketiga, wacana yang dicanangkan Alquran secara umum justru tidak sejalan dengan anjuran atau perintah memperbanyak anak. Dalam banyak ayat Alquran disebutkan celaan kepada orang-orang yang membanggakan banyaknya jumlah anak bersamaan dengan cercaan kepada mereka yang membangga-banggakan banyaknya harta. Meskipun perilaku membangga-banggakan seperti itu bukan karakter yang pasti, melekat, pada diri seseorang (orangtua), tetapi apa yang diujarkan Alquran itu menunjukkan bahwa potensi itu ada ketika seseorang memiliki anak dalam jumlah banyak. Dalam wacana Alquran pula, anak disejajarkan dengan wanita, perhiasan, hewan-hewan piaraan, kendaraan, dan semacamnya, yang dikategorikan sebagai unsur-unsur  “kehidupan yang rendah” (al-hayah al-dunya). Dari dua wacana ini saja sudah bisa diambil benang merahnya, bahwa apa yang dikehendaki oleh Alquran kepada setiap Mukmin dan Muslim adalah pencapaian atas kualitas-kualitas diri untuk mencapai ketinggian spiritualitas, melalui jalan pemupukan keimanan dan amal saleh, bukan besarnya kuantitas pada hal-hal duniawiah yang dimilikinya: anak, istri, kendaraan, binatang piaraan, properti, perhiasan, dsb. Tentu saja, hal-hal ini semua bukanlah sesuatu yang terlarang. Sebagai bagian dari kehidupan dunia (al-hayah al-dunya), kita tentu tidak bisa menghindarinya, sebab kita hidup di dunia, dan dunia sendiri juga menjadi lahan penghambaan kita kepada Allah. Akan tetapi, kata “dunia” itu sendiri, yang dalam bahasa Arab disebut al-dunya, memiliki arti (sifat) rendah. Sehingga, yang sejatinya dikehendaki oleh Alquran, meskipun kita terikat dengan hal-hal duniawi (harta, keluarga, dll), kita tidak boleh tenggelam di dalamnya. Tenggelam, artinya kita lebih banyak menyibukkan diri dengan hal-hal duniawiah tadi—sehingga lupa mengingat Allah, apalagi kemudian disusul dengan sikap membanggakan diri dengan besarnya kuantitas hal-hal duniawi yang kita miliki.

Keempat, ada riwayat lain, meski kurang populer, yang justru bertentangan dengan anjuran untuk memperbanyak keturunan (anak) dalam hadis di atas. Riwayat ini terkait dengan terminologi Jahdul Bala’ (cobaan yang meletihkan). Riwayat ini pada intinya meneguhkan sebuah poin prinsip, bahwa banyaknya anak tanpa dibarengi dengan nafkah yang memadai adalah sesuatu yang harus dihindari, bahkan kita perlu meminta perlindungan kepada Allah agar terhindar dari hal sedemikian. Riwayat ini tentu akan menjadi takhshish (pengecualian) atas hadis di atas, sehingga dengan jelas bisa ditegaskan sekali lagi, bahwa anjuran Nabi tentang memperbanyak anak bukan perintah yang qath’iy dan mutlak (absolut).

 

Jahd al-Bala’

Apa sesungguhnya pengertian tentang jahd al-bala’, sehingga Nabi Saw mengajak kita agar berlindung darinya? Seperti kita tahu, Nabi Saw mengajari kita doa sehari-hari yang sudah begitu familier dalam hapalan kita, yakni: Allahumma inni a’udzubika min jahd al-bala’, wa dark al-syaqa’, wa syamatat al-a’da’, wa su’ al-qadla’ [ﺍﻠﻠﻫﻢﺍﻨﻲﺍﻋﻮﺫﺑﻚ ﻤﻥ ﺠﻬﺪ ﺍﻠﺑﻼﺀ ﻮﺪﺮﻚﺍﻠﺸﻗﺎﺀ ﻮﺸﻤﺎﺗﺔﺍﻻﻋﺪﺍﺀ ﻮﺴﻮﺀﺍﻠﻗﻀﺎﺀ] (terjemahnya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari cobaan yang meletihkan, dari tertimpa celaka, dari serangan musuh, dan dari ketentuan yang buruk). Perintah Nabi agar kita berlindung dari keempat hal itu ada dalam riwayat Bukhari (hadis no: 6616) dan Muslim (hadis no: 7052), semua dari Abu Hurairah. Penting sesungguhnya bagi kita, mengetahui apa pengertian dari hal-hal yang kita berlindung kepada Allah darinya itu. Sebab, jangan-jangan kita hapal tentang sesuatu hal, tetapi kita tidak paham maknanya. Misalnya tentang jahd al-bala’, cobaan atau ujian yang meletihkan. Apaitu?

Untuk mengetahui definisinya, kita perlu menengok sejumlah riwayat hadis, bukan sekadar dari qaul ulama, apalagi sekadar bermodal pemahaman kebahasaan. Sebab, di zaman Nabi sendiri istilah ini sudah muncul. Di antara hadis tersebut adalah riwayat Imam al-Hakim, dalam kitab Tarikh dan Shahih-nya. Disebutkan oleh al-Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Ra, dari Rasul Saw, beliau bersabda: “Cobaan yang meletihkan (jahd al-bala’) adalah banyak anak (katsrah al-‘iyal) sementara nafkahnya kurang (qillah al-syai’).” Maksudnya adalah, bahwa cobaan (yang meletihkan) itu akan menjadi (makin) banyak bersamaan dengan makin banyaknya anak, sementara dari sisiragad (Jawa), biaya, atau nafkah tidak memadai buat mencukupi semua kebutuhan anak yang banyak itu. Inilah yang disebut sebagai jahd al-bala’ atau cobaan yang meletihkan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun