Mohon tunggu...
Sabrina Salsabila
Sabrina Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gunboat Diplomacy: Berhasilkah AS Menerapkan Diplomasi Ini?

3 Desember 2021   14:17 Diperbarui: 3 Desember 2021   15:12 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gunboat Diplomacy atau Diplomasi kapal perang merupakan kebijakan luar negeri yang sudah ada sejak abad ke-19 dimana suatu negara atau cara negosiasi dari suatu negara yang lebih kuat menggunakan kekuatan militer (angkatan laut) yang negaranya miliki, yang biasanya terlihat cukup memaksa dan memberikan deterrence effect kepada negara dengan memblokade, membombardir negara yang diancam untuk melakukan kerja sama baik itu untuk menyelesaikan suatu konflik atau untuk kepentingan negara. Diplomasi gunboat atau kapal perang ini awalnya digunakan oleh negara adidaya untuk memanfaatkan kekuatan kapal perangnya untuk terlihat kuat dan canggih sehingga negara lain (yang lebih lemah) akan lebih mudah untuk “menyerah”. Namun, seiring berkembangnya zaman dan militer dari berbagai negara, negara yang dulunya menjadi korban dari adanya diplomasi gunboat ini sudah menggunakan strategi maritim ini demi menjaga perairan dan kepentingan negara mereka.

James Cable pada bukunya yang berjudul “Gunboat Diplomacy”, mengungkapkan bahwa ia telah mengklasifikasikan gunboat diplomacy ke dalam empat kategori kekuatan atau konsep, yaitu Definitive force, Purposeful force, Catalytic force dan Expressive force. Berikut beberapa penjelasan terhadap empat kategori berikut:

  • Definitive Force (Kekuatan Definitif), kekuatan ini menciptakan suatu situasi dimana negara yang lemah ini tidak mempunyai opsi lain untuk menghindar dari persetujuan dengan negara kuat, selain menyetujui dan menyerah dengan segala keputusan dan persetujuan negara yang melakukan diplomasi. Pada definitve force, biasanya negara kuat akan mencoba untuk membantu menyelamatkan seorang tawanan dari negara lemah, merebut kapal perang dari negara lemah, atau menghancurkan suatu daerah agar negara tersebut dalam keadaan terdesak dan mau tidak mau harus menuruti persetujuan oleh negara kuat.
  • Purposeful Force (Kekuatan Bertujuan), kekuatan ini biasanya digunakan untuk membujuk negara yang lemah untuk melakukan suatu atau mencegahnya untuk melakukan sesuatu yang dianggap negara kuat akan menganggu kepentingan negara kuat. Sebagai contoh, pada tahun 1981, pesawat dari kapal perang USS Nimitz menembak jatuh 2 pesawat Libya yang sedang menuju kapal induk mereka yang berada di Teluk Sirte, diduga hal ini merupakan tanda untuk penolakan AS terhadap klaim Libya bahwa teluk Sirte merupakan perairan mereka.
  • Catalytic Force (Kekuatan Katalis), kekuatan ini merupakan bentuk dari kesiapan suatu negara untuk melakukan suatu tindakan, merespon dari ancaman yang sudah ada untuk mencegah adanya kegagalan atau konflik yang berkelanjutan. Sebagai contoh, pada November 1979, AS mengerahkan dua regu kapal perang di Samudera Hindia setelah Kedutaan Besar AS di Teheran diserang dan disabotase.
  • Expressive Force (Kekuatan Ekspresif), kekuatan ini dilakukan ketika angkatan laut terbatas dalam mencapai tujuannya. Dalam situasi ini, biasanya kapal perang akan digunakan untuk menekankan dan menunjukkan sikap, memberikan kejelasan, atau untuk meluapkan emosi kepada negara lain. Seperti contoh, Pada tahun 1990, AS telah mengirim beberapa kapal induk USS Kennedy untuk memantau pantai Kolombia karena adanya dugaan perdagangan narkoba lewat udara. 

Jika membicarakan sejarahnya, gunboat diplomacy telah digunakan oleh AS sejak awal, yaitu pada abad-19, ketika pada saat itu kekuatan dari Blok Barat (seperti AS dan juga negara Eropa Barat) yang bersaing dengan kekuatan Blok Timur (Uni Soviet dan negara-negara bagian Timur). Dalam konfliknya tak jarang negara-negara seperti AS akan menggunakan armada perang mereka untuk memperkuat strategi diplomasi mereka dengan muncul di pantai lepas negara-negara kecil dan memborbardir pinggiran pantai negara yang lemah, yang mungkin saat itu tidak terlibat dalam kedua blok. Dengan strategi ini, membuat AS terlihat overpower (terlalu kuat) dan cukup menakuti negara kecil yang terpaksa untuk menyerah dan pasrah sehingga hal ini cukup efektif dilakukan karena tidak ada pertumpahan darah yang dihasilkan dalam strategi ini.

Pada tahun 1853, Komodor Amerika yaitu Matthew Calbraith Perry, saat itu memimpin sebuah kapal perang kecil milik AL AS untuk bergerak menuju Teluk Tokyo karena pada saat itu ia diperintahkan untuk menjalin hubungan dengan Jepang. Perry beranggapan bahwa ketika negara tersebut menolak untuk menjalin hubungan dengan AS, ia akan melakukannya dengan kekerasan. Namun, tak disangka, Jepang rupanya bersedia untuk merundingkan sebuah perjanjian, tanpa adanya pertumpahan darah, dan sejak saat itu diplomasi ini dikenal sebagai “Gunboat diplomacy”

Sebagai contoh dari sejarah AS menggunaka, Theodore Roosevelt, Presiden AS ke-26, membawa armada Great White Fleet –nya mengelilingi dunia selama lebih kurang 2 tahun yang diawali pada tahun 1907 sampai dengan tahun 1909. Strategi ini pun dilakukan karena sekedar menunjukkan bahwa AS dapat menjangkau seluruh dunia hanya dengan dua skuadron kapal perang dan merupakan negara terkuat karena baru saja menang dalam Spanish-American War pada tahun 1898, dengan menguasai Guam, Filipina dan Puerto Rico. Dari sini juga Roosevelt memiliki ideologi “big stick” dengan slogan “speak softly and carry a big stick.” Tak hanya itu, Roosevelt juga berhasil mengirim beberapa kapal perang yang mereka miliki untuk mendukung pemberontak Panama mendapatkan kebebasan kemerdekaan dari Kolombia. Hanya dengan menampakkan kapal saja, AS mendapatkan hak atas Terusan Panama, dan Panama pun menjadi negara yang merdeka berkat bantuan dari AS.

Pada pertengahan abad ke-19, armada angkatan laut AS pada pasca Perang Dingin ke-II di Jepang dan Filipina telah berkembang pesat menjadi kurang lebih sekitar 450 pangkalan angkatan laut yang pada saat itu dipersiapkan untuk melawan adanya serangan dari Uni Soviet pada Perang Dingin, dan juga menghentikan penyebaran ajaran Komunisme. Pada tahun 1997, Zbigniew Brzezinski, seorang penasihat geopolitik untuk Presiden AS, Lyndon B. Johnson menyimpulkan bahwa adanya warisan gunboat diplomacy yang berkaitan dengan diusirnya AS dari negara asing, dan mengatakan bahwa ada “saingan potensial yang mungkin akan muncul di beberapa titik tertentu.”

Berkaca kepada konflik yang terjadi dengan China, Amerika Serikat juga membawa peran penting kepada negara-negara di kawasan Pasifik. Seringkali AS mengajak latihan bersama negara-negara di kawasan ini seperti India. Jepang, Australia, dan Korea Selatan, dan menandakannya sebagai pesan kepada negara negara musuh dan sekutunya, China bahwa negara-negara ini merupakan mitra mereka dan AS tidak akan lengah jika mereka menganggu keamanan maritim negara mereka. Benar faktanya bahwa AS telah menggunakan gunboat diplomacy di Asia setidaknya sejak tahun 1853, sehingga sampai pada saat ini terlihat hasil yang cukup membuat AS disegani negara-negara lain, yaitu pangkalan militer yang setidaknya mempunyai sekitar 290 kapal selam tersebar di 27 negara dan beberapa wilayah territorial Amerika, walaupun dibandingkan dengan China dan Rusia, AS masuk ke dalam kategori terkuat bukan terbesar.

AS menggunakan Gunboat Diplomacy sebagai strategi soft maritime diplomacy bukanlah langkah yang sia-sia. Berkatnya, AS dapat membangun pangkalan militernya yang sekarang telah ada dimana-mana. Bahkan beberapa negara cukup memerlukan bantuan dari AS karena dianggap sebagai negara “jagoan” dalam menggunakan gunboat diplomacy, tak lupa mereka sangat terbuka jika AS membuat pangkalan militer di daerah negara mereka. Karena selain AS merupakan negara yang cukup kuat dalam hal ini, AS juga bisa menjadi pelindung wilayah perairan mereka.

Ketegangan AS dan China melalui Gunboat Diplomacy di Abad ke-21

Era ini akan menjadi era dimana diplomasi ini akan terus berkembang lebih canggih lagi. Saat ini angkatan laut dari negara-negara kecil pun telah mengejar ketinggalan teknologi kapal perangnya yang lebih kuat, kekuatan AL yang semakin kuat, dan sistem radar yang juga semakin canggih serta diplomasi yang mungkin lebih bervariasi lagi. Namun tidak diragukan lagi untuk negara seperti China, rival Amerika Serikat yang tampaknya selalu bersaing ketika memasuki hal “menunjukkan kekuatan negaranya”. China selalu menjadi satu-satunya negara yang selalu memperebutkan wilayah Laut Cina Selatan, karena menurut nenek moyangnya itu adalah salah satu warisan yang harus dipertahankan. Namun, Amerika Serikat menganggap bahwa hal itu tidak layak untuk dijadikan sebagai bukti dalam kedaulatan Laut Cina Selatan.

Belum lama ini, Amerika Serikat sebagai mitra yang sangat berpengaruh di kawasan Asia menunjukkan keterlibatannya di kawasan Laut Cina Selatan dengan mengarahkan beberapa kapal NATO yang pada saat itu mengunjungi Vietnam, yang katanya kunjungan ini bertujuan untuk membantu menutup hubungan dengan China, dan bergerak seolah AS mengatakan bahwa mereka adalah aliansi yang paling kuat dan akan terus membantu Vietnam untuk melawan China terkait sengketa di Laut Cina Selatan. Segala upaya ini dilakukan oleh AS untuk memberikan efek deterensi kepada China karena terlibat pada sengketa Laut Cina Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun