Mohon tunggu...
Sabrina Izzati
Sabrina Izzati Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan di Universitas Airlangga

longlife learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Warisan Penjajahan: Inferiority Complex pada Bangsa Indonesia

30 Mei 2023   11:00 Diperbarui: 3 Juni 2023   22:02 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Kalau saja dijajah Inggris, negara kita pasti sudah lebih maju. Lihat saja Singapura! Menjadi jajahan Belanda tidak ada untungnya."

Kalimat semacam itu acapkali terdengar di banyak ruang diskusi online. Pemikiran bahwa dijajah oleh bangsa A lebih baik daripada dijajah oleh bangsa B adalah hal yang sangat menyedihkan.  Mengingat bahwa sudah 77 tahun sejak Indonesia merdeka, namun mentalitas inferior ini masih melekat di bangsa Indonesia.  Sudah sejak lama, kita banyak menyaksikan fenomena bagaimana masyarakat kita mengangungkan bangsa asing. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana mindset bangsa Indonesia melihat sesuatu. 

Tak jarang pula terdengar frasa "Bali rasa Santorini", "Jakarta rasa Tokyo" yang memosisikan bangsa kita berada dikelas kedua dan menganggap sesuatu yang mirip asing itu adalah hal yang lebih baik daripada menjadi dan menciptakan identitas diri sendiri.

Pada banyak kesempatan, kita juga menemukan bagaimana masyarakat Indonesia bereaksi berlebihan atau overproud pada hal-hal yang berbau asing. Banyak video di dunia maya yang berisikan reaksi bule terhadap hal-hal tentang Indonesia dan dengan sangat mudah menarik perhatian audiens dari Indonesia.  Hal ini menjadi tanda adanya rasa ingin diakui oleh bangsa lain pada diri bangsa Indonesia. Contoh lain dalam bidang ekonomi, kerap kali masyarakat Indonesia lebih memilih produk dengan embel-embel impor dibandingkan dengan produk lokal. Padahal secara kualitas, bisa jadi produk lokal memiliki kualitas yang sama atau lebih bagus dari produk impor tersebut.

Jika menilik sejarah, fenomena ini dapat kita pahami penyebabnya. Pada masa penjajahan, penduduk Hindia-Belanda dibagi menjadi golongan bangsa Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Penempatan golongan bumiputera atau pribumi sebagai kelas ketiga dinyana sebagai salah satu penyebab munculnya inferiority complex yang mandarah daging pada diri bangsa Indonesia. Pada masa itu, segala standar dikiblatkan kepada bangsa barat dan akhirnya memunculkan ketidakmampuan untuk menciptakan standar sendiri. Masyarakat Indonesia dicekoki stereotip "inlander bodoh" yang tanpa disadari membentuk mentalitas ini secara turun menurun.

Jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, maka harus menyingkirkan rasa tidak percaya diri, mengerdilkan diri sendiri, dan harus berdiri diatas kaki sendiri. Sebagaimana Soekarno dalam banyak kesempatan menyebutkan revolusi mental, untuk jadi merdeka, kita perlu mengimplementasikannya dari dalam diri. Bukan pengakuan dari bangsa lain, namun bagaimana kita sebagai bangsa dapat menyelesaikan problematika yang ada didalam dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri dan berdiri diatas kaki sendiri. 

Pun, kita perlu sadar bahwa superiority complex yang merupakan lawan dari inferiority complex akan tetap menjadi buruk jika overdosis. Seperti kita lihat, bagaimana masyarakat Amerika yang merasa diatas angin dan merasa menjadi pusat dunia. Bahkan, presiden Trump sempat menyebut bahwa virus n-COV 2019 (COVID 19) sebagai China's virus yang berpotensi menebarkan kebencian kepada kelompok tertentu. Contoh lain, dapat kita lihat bagaimana rasisme di Korea Selatan menyerang diaspora Asia Tenggara sebagai buah dari superiority complex. 

Kita harus pandai bersikap dan memosisikan diri. Tidak berendah diri, namun juga tetap harus menjunjung tinggi persamaan kedudukan semua bangsa tanpa memandang ras dan pengaruh negara tersebut. Modalitas ini akan menjadi pegangan yang dapat membawa Indonesia menuju bangsa yang besar dan maju.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun