Mohon tunggu...
Sabila Hayuningtyas
Sabila Hayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Rayakan Hari Film Nasional dengan Berhenti Menonton Film Bajakan

30 Maret 2021   10:47 Diperbarui: 30 Maret 2021   10:52 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya, tahukah kalian, bahwa perfilman Indonesia sempat mati suri pada sekitar tahun 90-an, di mana pada saat itu dalam setahunnya negara kita hanya memproduksi 2-3 film saja. Hal ini disebabkan karena kurangngnya dukungan dari masyarakat, mulai dari munculnya pembajakan, adanya televisi, DVD, VCD, yang membuat masyarakat kurang berminat untuk pergi ke bioskop. Dan mirisnya adalah pada tahun tersebut perfilman Indonesia dipenuhi dengan tema "seks" atau hal-hal yang berbau tabu demi menarik perhatian masyarakat.

Bahkan, sempat ada anggapan bahwa film-film Indonesia itu jelek atau tidak berkualitas, sehingga masyarakat tidak lagi percaya dengan film Indonesia dan tidak rela mengeluarkan uangnya untuk menonton ke bioskop. 

Tak jarang dari mereka justru membangga-banggakan film karya luar negeri. Saya akui, perfilman Indonesia memang sempat diwarnai dengan genre horror yang kerap memasukan adegan yang tak pantas, alih-alih untuk menarik minat pasar hal ini menjadi berdampak buruk bagi film-film yang sebenarnya punya kualitas. Bisa jadi, masyarakat hanya kurang referensi akan film-film yang sebenarnya berkualitas.

Jika pernyataan tersebut beralasan mungkin tak masalah, justru kritik-kritik seperti itu menjadi diperlukan sebagai bahan evaluasi para pekerja film agar berusaha membuat film yang lebih baik lagi dan kemudian kembali menumbuhkan rasa kepercayaan masyarakat untuk menonton secara legal, dan hal itu terbukti. Negara kita kembali banyak melahirkan film-film berkualitas dengan cerita juga naskah yang baik dan tentunya melewati proses yang tak mudah untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.

Sangat memprihatinkan. Beberapa tahun belakangan, bioskop kita baru saja kembali ramai, kemudian tak lama diuji dengan adanya pandemi yang menghambat proses produksi dan mengharuskan sejumlah bioskop ditutup. Mirisnya lagi, pembajakan justru semakin merajalela. Bayangkan, sudah kesulitan membuat karya di tengah pandemi pembajakan justru merajalela.

Perilaku-perilaku seperti itulah yang dapat membuat industri perfilman merugi, dan memberikan kemungkinan bahwa suatu saat Indonesia kembali melahirkan karya film yang "seadanya" atau yang lebih parahnya lagi industri perfilman tak dapat bertahan. Mengapa?

Karena ketika seseorang membajak sebuah film itu sama sekali tidak menguntungkan bagi si pembuat film. Justru menguntungkan si pembajak dari banyaknya orang yang mengunjungi situs gratisan tersebut. Jika hal seperti itu dibiarkan, tentu ini akan membuat para pekerja film "kapok" membuat film karena tidak mendapat hasil atau keuntungan dari banyaknya biaya produksi yang sudah dikeluarkan.

Ya, saya paham. Beberapa orang memang tak selalu punya cukup uang atau kesempatan untuk bisa menikmati film di bioskop setiap minggu atau setiap bulannya.

Tapi di zaman sekarang kita sudah semakin mudah menonton film secara legal, banyak media streaming film seperti Netflix, Iflix, dan lain-lain yang menawarkan harga terjangkau, dengan uang sebesar tiga puluh ribu rupiah saja kita sudah bisa berlangganan dan menonton ratusan film.

Jadi alangkah baiknya kita berusaha menghargai para pekerja film demi lestarinya industri perfilman dengan menonton film secara legal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun