Mohon tunggu...
Sabila Hayuningtyas
Sabila Hayuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030109

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ini Kisahku, Seorang Ailurophobia yang Memelihara Kucing

4 Maret 2021   14:28 Diperbarui: 4 Maret 2021   14:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ailurophobia adalah istilah lain dari kata "fobia kucing". Di mana seseorang mengalami ketakutan secara berlebihan terhadap kucing. Tak disangka hewan yang dianggap lucu dan menggemaskan bagi kebanyakan orang, rupanya juga menjadi sebuah ancaman yang menakutkan bagi beberapa orang, salah satunya adalah saya.

Ya, saya adalah salah satu dari sekian banyak yang mengalami hal ini. Mungkin sulit dipercaya bagi teman-teman dan orang sekitar yang mengenal saya begitu dekat, masalahnya mereka kenal betul bahwa saya termasuk sosok yang pemberani. Saya bisa membunuh puluhan kecoa dengan tenang tanpa rasa takut ataupun jijik sedikitpun, begitupun dengan jenis serangga lainnya. Saya juga gemar menonton film horror, bahkan seringkali saya berhasil menebak kapan hantunya akan muncul.

Aneh, dari sekian banyak yang menakutkan saya lebih takut pada seekor kucing.

Ketakutan ini sudah saya rasakan sejak kecil. Begini ceritanya, dulu ketika saya kecil, ibu saya pernah memelihara seekor kucing liar yang sewaktu-waktu datang ke rumah. Saya menyambutnya dengan senang, ia manis sekali. Tapi entah mengapa perasaan saya selalu tak tenang setiap kucing manis itu mendekati bahkan mengikuti setiap pergerakan saya, hidup saya menjadi kurang nyaman semenjak kucing itu ada di rumah.

Tak selayaknya pecinta kucing pada umumnya, mengelus bulunya saja saya tak berani. Entahlah seperti ada kecemasan tersendiri jika sewaktu-waktu kucing itu mencekam atau mencakar saya, sementara saya belum latihan bela diri untuk melawan kucing. Mungkin jika hanya seekor serangga saya bisa membunuhnya, tapi untuk seekor kucing? Saya tidak setega itu.

Ya meski takut, saya masih punya hati nurani.

Suatu ketika belum lama dipelihara, kucing itu hilang. Perasaan saya pada saat itu tidak ikhlas. Saya takut tapi saya sayang dengan kucing itu. Bingung sekali mendefinisikannya.

Lama tidak ada lagi kucing di kehidupan saya, bahkan orang-orang belum sempat menyadari ketakutan saya.

Beberapa tahun setelahnya, seekor kucing lain datang kembali ke kehidupan saya. Hampir setiap hari ia berkunjung ke rumah untuk meminta makan bahkan seringkali menginap tidur di depan TV. Awalnya saya tak menyukai kucing itu, karena dia tidak sopan dan begitu sangat menggagu, nakal sekali. Tapi mau bagaimana lagi? saya tidak berani menyentuh kucing sehingga saya tidak mampu mengeluarkannya dari rumah.

Sementara orang-orang rumah, mereka menyukainya dan membiarkan kucing itu keluar masuk rumah. Saya merasa takut, seringkali saya berteriak ketika kucing itu mengganggu saya ketika makan. Orang-orang di rumah pun mengerti untuk menyingkirkan kucing itu ke luar sampai saya selesai makan. Mereka sangat membantu saya, meski sambil mengejek "sama setan aja berani, sama kucing kok takut?".

Tapi semakin hari saya semakin menyangi kucing itu, saya senang memberinya makan sambil melihat ekspresinya yang lahap. Saya selalu membayangkan bagaimana jika saya adalah seekor kucing liar, saya pasti akan kelaparan, karena saya tidak sebegitu percaya diri masuk ke rumah orang tak dikenal dan meminta makan, apalagi mencuri. Itulah yang akhirnya membuat saya iba dengan "Pretty", nama yang akhirnya diberikan ibu saya kepada kucing itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun