Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Denda Parkir dan Pelanggaran Batas Kecepatan di Belanda

19 Oktober 2019   06:41 Diperbarui: 19 Oktober 2019   13:48 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada medio Mei 2019, saya menyetir mobil di wilayah Amsterdam Belanda. Ketika itu, di layar GPS sebenarnya muncul notifikasi bahwa batas kecepatan maksimal yang dibolehkan pada ruas tol itu hanya 130 km per jam. Namun, maklum orang baru di Belanda, saya ngeyel menyetir dengan kecepatan yang melebihi batas maksimum kecepatan.

Akibatnya, hanya berselang sepekan kemudian, saya menerima surat tagihan/denda pelanggaran batas kecepatan sebesar 29 Euro (sekitar Rp460.000). 

Di surat tagihan/denda itu juga tertera nomor plat mobil saya, lokasi dan tanggal-jam pelanggaran, nomor kamera yang merekem kecepatan mobil 138 km per jam (hanya lebih 8 km per jam dari batas maksimal). 

Dan denda itu harus dibayar sebelum tanggal 15 Juli 2019 ke nomor rekeneing tertentu. Artinya saya diberi space waktu selama 2 bulan untuk membayar tagihan.

Sejak saat itu, kalau menyetir dan melintas di ruas jalan di sekitar Amsterdam dan kota-kota lainnya, saya akhirnya menjadi sangat patuh dan disiplin, nggak berani lagi menyetir melebihi batas kecepatan maksimum. 

Sebab saya merasa nggak nyaman hati banget bila nantinya kembali menerima surat tagihan pelanggaran batas kecepatan maksimum, meskipun nilai dendanya hanya 29 Euro.

Belakangan saya diberitahu bahwa nilai denda pelanggaran batas kecepatan maksimum dihitung berdasarkan sebesar kelebihannya. Artinya, 29 Euro adalah denda terhadap kelebihan 8 km per jam, sebab mobil saya melaju dengan kecepatan 138 km per jam, sementara batas maksimumnya hanya 130 km per jam.

Sebagai gambaran, batas maksimum kecepatan tertinggi di Belanda saat ini adalah 130 km per jam. Sebagian besar ruas jalan tol hanya 120 atau 100 km per jam. Belakangan muncul wacana batas tertinggi 130 akan diturunkan menjadi maksimal 100 km per jam di semua ruas jalan tol. 

Sementara di ruas jalan sekunder umumnya 70 atau 80 km per jam. Adapun di kawasan pemukiman atau jalan-jalan di dalam kota antara 30 atau 50 km per jam.

Dan menurut peraturan, jika pelanggaran melebihi 50 km per jam dari batas kecepatan pada ruas tertentu, selain didenda, SIM juga bisa dicabut.

Misalnya, batas maksimun 100 km per jam pada ruas tertentu, lalu mobil melaju dengan kecepatan 150 km per jam, yang dendanya bisa ratusan euro dan SIM dicabut pula.

Itu soal pelanggaran batas kecepatan maksimum.

Di lain kesempatan, pada pertengahan bulan Juli 2019, saya memarkir mobil di suatu jalan di kota Den Haag. Di salah satu sudut jalan itu, ada papan penunjuk yang menjelaskan bahwa di jalan itu, parkir mobil berbayar berlaku dari pukul 09.00 sampai pukul 14.00. Artinya di luar jam itu (14.00 sampai 09.00), parkir mobil gratis. Dan setiap mobil hanya boleh memarkir selama 2 jam. 

Artinya, dalam setiap dua jam, pembarayan parkir harus diperbaharui. Misalnya saya parkir pukul 10.00, berarti durasi parkiran saya hanya berlaku sampai pukul 13.00. Kalau masih lanjut parkir, berarti saya harus membayar parkiran baru untuk 2 jam berikutnya.

Pada hari itu, saya mulai memarkir mobil sekitar pukul 10.00, yang berarti durasi parkiran saya hanya berlaku sampai pukul 12.00. Mestinya sebelum atau tepat pada jam 12.00, saya harus membayar parkiran baru kalau mau lanjut parkir.

Rupaya saya lupa memperpanjang durasi parkiran saya, karena saat itu sedang berurusan dengan dokter gigi.

Akibatnya, sekitar satu bulan kemudian, pada Agustus 2019, saya menerima surat denda/tagihan pelanggaran tidak membayar parkir dari instansi terkait, lengkap dengan keterangan tanggal-jam-lokasi pelanggaran, nomor plat mobil, dengan denda total sebesar 62,85 euro (sekitar Rp1 juta), dan nomor rekening tujuan pembayaran denda. Apa nggak nyessak?.

Yang bikin tambah sakit hati, sebab di samping angka denda sebesar 62,85 euro itu, juga tercamtum nilai parkir normal yang mestinya saya bayar yaitu 1,85 euro. Artinya karena nggak membayar parkir normal sebesar 1,85 euro, saya akhirnya didenda sebesar 62,85 euro.

Sejak saat itu, saya menjadi supir yang sungguh patuh membayar parkiran. Dan setiap mamarkir mobil di pinggir jalan, saya selalu teringat angka denda yang 62,85 euro itu. Kapok.

Sebagai gambaran, jangan dianggap enteng soal penghasilan negara Belanda dari parkiran. Berdasarkan data 2014, pendapatan negara Belanda dari parkiran saja sebesar 660 juta euro atau sekitar Rp 10,5 triliun (Rp10.560.000.000.000). 

Data terbaru untuk tahun 2018 belum tersedia, namun diperkirakan pada 2018, pendapatan negara Belanda dari parkiran mungkin sudah mencapai 700 juta euro atau sekitar Rp 11,2 triliun (Rp11.200.000.000.000).

Apalagi, sekitar Agustus 2019 lalu, di kawasan pusat kota Amsterdam, tarif parkir bahkan sudah dinaikan menjadi 7,5 euro (sekitar Rp 120.000) per jam. 

Jadi kalau main dengan mobil pribadi ke kota Amsterdam, lalu parkir sekitar 3 jam, yah, harus bayar parkiran sebesar 22,5 euro (sekitar Rp 200.000). Mabok dan terasa banget.

Saya membayangkan, suatu saat ke depan, entah kapan, pengelolaan parkir di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia dapat dilakukan secara terintegrasi dan modern.

Hasilnya pasti juga triliunan rupiah. Hanya memang perlu kebijakan yang berani, dan setelah itu, penegakan yang tak pilih kasih.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 19 Oktober 2019/ 20 Safar 1441H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun