Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skandal Diplomatik Kim Darroch

11 Juli 2019   07:40 Diperbarui: 11 Juli 2019   07:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama tiga hari terakhir, saya dan mungkin juga Anda, mengikuti, membaca dan mengetahui sejumlah kosa kata yang paling sering dicuplik dengan menggunakn tanda kutip di media-media berbahasa Inggris di seluruh dunia: "inept", "wacky", "stupid guy". Sebuah skandal diplomatik paling anyar antara Amerika dan Inggris.

Skandal ini berawal sejak wartawati Isabel Oakeshott di harian "Daily Mail" di Inggris, pada 6 Juli 2019 (diupdate lagi pada 7 Juli 2019), memuat dan mengulas cuplikan-cuplikan bocoran email dan kawat diplomatik dari Duta Besar (Dubes) Inggris di Washington, Kim Darroch, yang dikirim ke London selama periode lebih dari dua tahun: mulai Mei 2017 sampai 22 Juni 2019.

Surel-surel itu antara lain mengulas kebijakan, gaya kepemimpinan dan kepribadian Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dengan menggunakan kosa kata yang vulgar dan menohok: Donald Trump adalah presiden yang dysfunctional (tidak fungsional), inept (tidak memenuhi syarat/tidak layak), insecure (tidak aman) dan incompetent (tidak mampu) dan seterusnya.

Dan seperti diduga banyak orang, publik global hanya perlu beberapa jam kemudian untuk mendengar dan membaca reaksi keras Donald Trump, yang mengawali twitt-nya di Twitter dengan menulis "...We will no longer deal with him (Kami tidak akan berurusan dengannya lagi" (08 Juli 2019).

Dan Trump terus melanjutkan ocehannya di Twitter, yang antara lain menyebut Darroch sebagai wacky ambassador (Dubes yang edan), a very stupid guy (orang paling tolol), dan "pompous fool (orang dungu yang angkuh). 

Respon kasar dan keras Trump merefleksikan gaya dan prinsip hidupnya, yang pernah secara gamblang ditulis dalam buku best-sellernya The Art of the Deal: "When people treat me badly or unfairly..., my general attitude, all my life, has been to fight back very hard (jika ada memperlakukan saya dengan buruk atau tidak fair, secara umum, sepanjang hidup saya, sikap saya adalah menyerang balik dengan sangat keras." Dan kali ini, Trump kembali membuktikan itu.

Dan akibatnya bisa diduga. Hanya perlu tiga hari kemudian, pada 10 Juli 2019, Kim Darroch pun akhirnya mengundurkan diri sebagai Dubes Inggris di Amerika. Upaya Kementerian Luar Negeri Inggris dan Kim Darroch sendiri untuk menyelamatkan dan menetralisir skandal diplomatik itu tampak sia-sia.

Skandal ini menjadi semakin menarik, jika dikaitkan dengan sejarah hidup Kim Darroch, yang dijuluki sebagai diplomat papan atas Inggris. Mulai bergabung dengan Kemenlu Inggris pada 1977, dan telah bertugas di berbagai negara. Sebelum akhirnya lebih banyak berkiprah di Inggris dan Eropa. Pada periode 2004-2007, Darroch menjadi penasehat bidang Eropa (Europe Advisor) untuk PM Tony Blair, kemudian ditugaskan sebagai perwakilan tetap Inggris di Uni Eropa (2007-2011). Lalu mulai Januari 2012 hingga September 2015 menjabat sebagai National Security Advisor (Penasehat Keamanan Nasoonal) untuk PM David Cameroon, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Dubes Inggris di Amerika sejak Januari 2016, di era Presiden Barack Obama.

Lantas pelajaran dan catatan apa yang bisa dipetik dari kasus Kim Darroch?

Pertama, cukup unik bahwa media-media Inggris dan juga di negara-negara lain terkesan mengulas skandal diplomatik itu dengan fokus ke materi atau substansi surel-surel Darroch. Liputan media tampaknya tidak begitu peduli untuk mendalami siapa di balik pembocoran email itu kepada wartawati Isabel Oakeshott. Dan jika kemudian terungkap siapa di balik pembocoran itu, bobot skandalnya mungkin akan jauh lebih parah dibanding dengan skandal substansi bocorannya.

Kedua, sejak kasus Darroch mencuat, saya membayangkan semua Dubes dari berbagai negara lain yang bertugas di Washington, tentu akan cemas mungkin malah ketakutan, lalu mulai memberlakukan disiplin ketat terhadap surel-surel laporan mereka ke negaranya masing-masing. Sebab bukan tidak mungkin, suatu ketika, laporan-laporan itu bisa tiba-tiba muncul di media, dan mengalami nasib seperti Surel Kim Darroch.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun