Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi "Tamu" Sekaligus "Tuan Rumah" di Bulan Ramadhan

27 April 2019   23:15 Diperbarui: 27 April 2019   23:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kira-kira sepekan lagi dari sekarang, kita akan mulai berpuasa. Beragam meme dan komen telah berseliweran di media sosial, yang dengan caranya masing-masing, mencoba mendorong semua Muslim agar bersiap diri secara mental dan fisik untuk menyambut Ramadhan.

Dan tiap kali menjelang Ramadhan, setidaknya ada dua tema besar yang ramai diperbincangkan: pertama, Ramadhan diposisikan sebagai "tuan rumah" yang secara spiritual menyediakan beragam fasilitas untuk kenyamanan para tamunya (orang berpuasa); kedua, kebalikan dari yang pertama: Ramadhan dipersepsikan sebagai "tamu tahunan", dan karena itu, kita sering mendengar ungkapan marhaban ya Ramadhan, yang bermakna: pelaku puasa adalah "tuan rumah" yang menyambut tibanya tamu Ramadhan.

Apapun itu, bagi pencinta dan penikmatnya, Ramadhan adalah suasana kerinduan batin, yang dirindukan saban tahun secara massal bahkan kolosal.

Sebab Ramadhan menawarkan suasana spiritual dan psikologis yang sulit digambarkan dengan kata-kata bahkan kepada mereka yang wajib berpuasa sekalipun, apalagi kepada orang yang tak wajib berpuasa.

Tahun 2019 ini, bagi yang sudah menentukan harinya pada Senin 6 Mei 2019, berarti bulan Ramadhan sudah masuk saat matahari terbenam di hari Minggu 5 Mei 2019. Artinya shalat tarwih perdana akan ditunaikan pada Ahad, malam Senin.

Puasa akan diawali niat, malam demi malam, atau sekaligus sebulan: sebuah komitmen spiritual yang memposisikan diri rela dan ikhlas menjalaninya selama sebulan penuh (29 atau 30 hari).

Lalu bangun pada dinihari (sahur), makan di waktu seperetiga malam terakhir, dengan menu utama sampai fajar menyingsing dan azan subuh dikumandangkan. Berat bagi yang tak biasa, bahkan aneh bagi sebagian orang. Namun suasana sahur menjelma jadi kenikmatan spiritual bagi pencinta yang menikmatinya.

Lalu menahan makan dan minum selama kurang lebih 13 hingga 14 jam bagi yang berdomisili di negara-negara yang dekat dengan garis khatulistiwa, atau 17-18 jam bahkan lebih di negara yang jauh dari Khatulistiwa (ke utara ataupun selatan). Kalau cuma satu-dua-tiga hari mungkin masih bisa dimaklumi. Ini sebulan penuh, Bung.

Rongga mulut yang tak difungsikan secara normal selama sekian jam, jelas akan memicu bau tak sedap. Namun untuk bau mulut bagi pelaku puasa ini, sudah ada penjelasan spiritualnya: "Bau mulut orang berpuasa lebih harum dibanding aroma kesturi," di akhirat kelak.

Setelah seharian penuh menahan lapar dan dahaga, suasana menjelang buka akan segera menjadi momen kebahagiaan tiada tara, yang lagi-lagi tak bisa dideskripsikan dengan kata dan kalimat. Saat-saat jelang berbuka puasa, yang kadang diisi dengan tradisi ngabu-burit itu, menawarkan suasana spiritual yang eksotis, bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa puasa sunat (Senin-Kamis) sekalipun.

Lalu sehabis berbuka, ketika santapan berbuka belum juga merapatkan barisan serat-dan gizinya di lambung dan usus, kita bersiap lagi menunaikan qiyamullail (shalat tarawih), terserah mau 8 atau 20 rakaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun