Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Di Belanda, Para Pengendara Mobil Wajib Menghargai Pejalan Kaki dan Pesepeda

4 Februari 2019   02:21 Diperbarui: 4 Februari 2019   11:42 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi: sebuah persimpangan empat di bilangan Wassenaar, Den Haag, Belanda pada 02 Januari 2019.


Bagi pengunjung asal Indonesia, menyetir mobil di jalan-jalan Belanda memerlukan perhatian dan harus ekstra hati-hati. Dan pelajaran utama dan pertamanya adalah kendaraan roda empat harus menghormati atau mendahulukan pejalan kaki dan pesepeda, "dalam kondisi apapun."

Dan di semua jalan, kecuali jalan highway (jalan tol), umumnya ada jalur khusus pesepeda yang lebarnya sekitar 1,5 meter, dicat berwarna merah hati, di dua sisi jalan. Jika jalur pesepeda itu hanya berada di satu sisi jalan, maka jalur sepedanya dibuat dua arah. Dan selalu ada trotoar khusus bagi pejalan kaki. 

Kendaraan roda empat tak boleh melintas di jalur sepeda; pesepeda gowes tak bisa melaju di ruas/jalur kendaraan roda empat. Dan pejalan kaki tak boleh berjalan di jalur sepeda. Sepeda motor roda dua mengikuti dan melintas di jalur roda empat. Tapi di musim dingin ini, jarang sekali terlihat orang bersepeda motor.

Dan pengendara roda empat mesti siaga-1 mengantisipasi pesepeda dan pejalan kaki yang bisa muncul sekonyong-konyong di setiap persimpangan jalan, khususnya persimpangan yang tak ada traffic-light-nya.

Para pesepeda atau pejalan kaki itu, ketika menyeberang di persimpangan yang tak ada traffic light-nya, umumnya terkesan tidak peduli dengan kendaraan roda empat yang datang melaju dari satu arah atau dua arah. 

Di jalur penyeberangan jalan khusus pejalan kaki, jarang terlihat ada penyeberang jalan yang cilingak-cilinguk sebelum menyeberang, mereka berjalan menyeberang begitu saja. Mungkin karena mereka sangat bahkan over-yakin bahwa pengendara roda empat pasti, sekali lagi pasti, akan berhenti atau melambatkan kendaraannya guna memberi kesempatan atau mendahulukan pejalan kaki atau pesepeda untuk menyeberang atau berjalan lebih dulu.

Bagi pengendararoda empat asal Indonesia, seperti saya, tentu kebiasaan atau kedisiplinan mendahulukan dan menghargai pejalan kaki cukup menguras tenaga, bahkan membuat kagok dalam menyetir. Maklum belum terbiasa. Apalagi menyetir di kiri pula.

Pada hari pertama-kedua-ketiga dan beberapa hari kemudian, saya mencoba menyetir sendiri di kota Den Haag, Amsterdam, Rotterdam, dan Utrecht, saya merasakan seolah sedang "bekerja berat". Energi terkuras. 

Bahkan saya merasakan gagap cenderung gugup di setiap persimpangan jalan. Apalagi hampir semua mewanti-wanti agar berhati-hati ekstra dengan pejalan kaki atau pesepeda di tiap persimpangan. Sekali lagi, gagap dan gugup itu muncul mungkin karena tak biasa menghargai pejalan kaki atau pesepeda dijalan raya di Indonesia.

Saya mencermati, memang hampir semua kendaraan roda empat menurunkan laju kecepatannya di setiap persimpangan jalan atau ketika ada jalur zebra untuk pejalan kaki, atau jalur khusus pesepeda. 

Di tiap persimpangan, ada peraturan ketat yang kalau dilanggar dan terekam kamera, bisa didenda sampai 60 euro, kecepatan kendaraan di tiap persimpangan tak boleh lebih dari 50 km per jam. Artinya kalau lampu kuning menyala, kendaraan tentu tetap bisa melaju, selama belum menyala lampu merah. 

Tapi ketika melaju saat lampu kuning menyala, kecepatan kendaraan tak boleh kebih dari 50 km per jam. Jika melaju lebih cepat dari 50 km per jam, lalu terekam kamera,maka pelanggarannya bukan karena menerobos lampu kuning, tapi karena kecepatan lebih dari 50 km per jam. Jadi, kalau lampu kuning menyala, sebaiknya berhenti sajalah!

Saya lalu teringat pada suatu kejadian di wilayah Pekalongan. Saya menyetir dengan kecepatan sekitar 60 km di sebuah persimpangan di Pantura. Lalu tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya menyeberang jalan, tanpa peduli pada kendaraan saya. Tentu saya mengerem mendadak dan ban berbunyi cesssssss, lalu seolah tanpa sadar, saya sigap membuka kaca jendela depan kemudian berteriak kasar: "Matamu simpan di mana? Udah bosan hidup?"

Kembali ke Belanda. Kasus Pekalongan itu tentu hampir mustahil terjadi di Belanda. 

Seorang teman bercerita begini: di Belanda, jika terjadi pengendara mobil menabrak pejalan kaki atau pesepeda, yang mengakibatkan korban itu cacat seumur hidup, lalu pengadilan memutuskan bahwa korban itu diasumsikan bekerja pada suatu profesi dengan gaji katakanlah €3.000 per bulan, maka pengendara atau pihak asuransi harus membayar korban itu sebesar €3.000 per bulan seumur hidupnya, dan angka itu akan terus bertambah dengan asumsi gaji korban itu, seandainya bekerja normal dan tidak cacat, setiap tahun akan terus bertambah sekian persen.

Mendengar cerita itu, makin gagap dan gugup saja dalam menyetir. 

Karena semua pengguna jalan relatif memahami hak dan kewajibannya ketika sedang di jalan, maka arus lalu lintas dan perjalanan relatif aman. Kasus kecelakaan di jalan dapat diminimalisasi serendah mungkin. Meski tak berarti bahwa Belanda steril total dari kecelakaan lalu lintas.

SyarifuddinAbdullah | Den Haag, 03 Februari 2019/ 28 Jumadil-ula 1440H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun