Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karakter Guncangan Gempa-Tsanami Donggala-Palu (1)

3 Oktober 2018   10:29 Diperbarui: 3 Oktober 2018   12:53 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusakan akibat gempa dan tsunami di Pelabuhan Wani 2, Kecamatan Tanatopea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10/2018). Gempa yang terjadi di Palu dan Donggala mengakibatkan 925 orang meninggal dunia dan 65.733 bangunan rusak.(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Satu per satu korban selamat bercerita tentang karakteristik guncangan gempa dan tsunami yang melanda Palu, 28 September 2018. Dan bisa ditarik satu kesimpulan umum: sungguh model goncangannya dahsyat luar biasa, tak terbayangkan sebelumnya.

***

Seorang ibu paruh baya, yang rumahnya berjarak sekitar 150 meter dari bibir pantai Talise bercerita: "Awalnya, saya merasakan beberapa kali guncangan kecil. Lalu terjadi guncangan yang lebih besar. Tak berapa lama kemudian disusul oleh guncangan yang bermagnitudo 7,4 itu. Saat itu, saya sedang duduk, dan langsung terlempar sekian meter. Dengan tertatih, saya berlari ke luar rumah, sempat terjatuh lalu bangun dua-tiga kali. Saya mencapai motor, menyalakannya dan mengendarainya. Saat sedang mengendarai motor menuju ke tempat aman, beberapa kali motor jatuh/tumbang sendiri. Saya akhirnya selamat."

"Guncangannya aneh: terasa seperti bumi dipegang dan diobok-obok, gerakannya seperti ayakan beras, didorong-ditarik, naik-turun, lalu ayakannya dibanting. Tak seorang pun yang mampu berdiri tegak. Semua jatuh dan tumbang," lanjut si wanita paruh baya itu.

***

Seorang atlit Paralayang asal Jawa Timur yang menginap di Hotel Roa Roa Palu berkisah begini: "Saya dan teman sekamar sedang santai di kamar hotel menjelang Magrib. Tiba-tiba terasa guncangan keras. Saya dan teman sekamar reflek keluar dari kamar, berlari menyusuri koridor hotel menuju tangga turun. Ketika sedang lari di koridor sepanjang sekitar 50 meter, saya jatuh dan bangun dua-tiga kali, sebelum akhirnya mencapai ujung koridor.

Begitu sampai di ujung koridor, tangganya sudah copot. Lalu saya tertimpa dan terjebak oleh material. Tak bisa bergerak lagi. Saya terkepung dan tertindih oleh material selama kurang lebih 6 jam, sebelum akhirnya diselamatkan Tim SAR. Saya mengalami luka-luka di wajah, kepala, pundak, punggung dan kaki.

Ketika sedang terjebak dan terkepung oleh reruntuhan selama enam jam itu, awalnya saya mendengar banyak suara tamu hotel lainnya berteriak minta tolong. Namun makin malam, semakin sepi, tak ada lagi suara minta tolong. Mungkin mereka sudah meninggal.

***

Seorang pria di Petobo, yang rumahnya berjarak sepelemparan batu dari pagar Terminal Petobo, Palu berkisah: "Saat terjadi guncangan dahsyat itu, saya langsung mencari perlindungan, duduk setengah jongkok, sambil merasakan guncangan gempanya. Ketika akhirnya guncangan besar itu reda, saya berdiri, dan menyadari posisi saya yang awalnya tak seberapa jauh dari Terminal, ternyata telah bergeser sekitar 100 meter dari Terminal Petobo. Artinya, tanah tempat saya berlindung bergeser sejauh kurang lebih 100 meter dari posisi awalnya. Aneh bin ajaib, dahsyat".

BERSAMBUNG

Syarifuddin Abdullah | 03 Oktober 2018/ 23 Muharram 1440H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun