Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Makna "Rahmatan Lil Alamin"

6 Juni 2018   21:10 Diperbarui: 7 Juni 2018   05:58 22540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh: Islam mengasihi atau merangkul dan mengayomi semua binatang, tanpa kecuali. Ini prinsip dasarnya. Tapi tidak bisa diartikan misalnya dengan mengatakan bahwa babi itu halal. Karena terkait babi, sudah ada aturan syariatnya (haram).

Contoh lain: jika di suatu kampung tiba-tiba muncul ular piton besar yang memangsa ternak dan orang, maka ular piton itu wajib dibunuh. Jangan dengan argumen rahmatan lil-alamin lantas mengatakan, udah, biarin aja ular piton itu berkeliaran.

Kedua, dalam kajian keIslaman, syariat Islam selalu diposisikan sebagai bagian dari rahmat Allah kepada hambanya. Dan sikap dasar yang mestinya menjadi acuan utama dalam memperlakukan syariat adalah ketaatan, bukan analisa dan interpretasi.

Ketiga, bahwa rahmat Islam (atau Islam sebagai rahmat) tidak bisa diartikan secara mutlak anti kekerasan. Sebab jika rahmat itu diartikan mutlak anti kekerasan, maka konsekuensinya kita akan membatalkan beberapa hukum, yang bagi sebagian orang dianggap kejam dan tidak manusiawi, seperti hukuman qishas (vonis mati bagi pembunuh), atau rajam (bagi pezina yang sudah menikah ) atau potong tangan (bagi pencuri yang memenuhi syarat jumlah curiannya). Tegasnya, jangan dengan argumen rahmatan lil-alamin lantas hukum yang terkesan kejam itu lantas ditiadakan.

Membunuh tanpa alasan syariat jelas diharamkan. Tapi sistem hukum apapun di dunia ini mengakui bahwa dalam pertempuran atau perang, misalnya, membunuh adalah pilihan pertama yang paling rasional. Prinsip yang berlaku: dari pada saya yang mati, lebih baik musuh yang mati. Perbedaan pandangan atau interpretasi muncul ketika membahas kapan suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai suasana perang dan kapan tidak.

Keempat, memahami tiap prinsip Islam mestinya tetap mengacu atau dalam bingkai dan paradigma Islam. Memahami sebuah prasa, harus mengacu pada paradigma yang melatari paradigma tersebut. Jika tidak, kecenderungan munculnya interpretasi yang nyeleneh sangat besar.

Misal: jika mengacu pada paradigma HAM murni, konklusinya pasti akan berakhir dengan mengatakan, hukum rajam anti HAM, qishash itu tidak manusiawi.

Keenam, Islam dan hukum-hukumnya bukan untuk dicocok-cocokkan dengan agama apapun atau konsep apapun. Dan memang salah satu perdebatan yang sering memunculkan kontroversi adalah ketika salah satu pihak mencoba atau bahkan terkesan memaksakan upaya mencocok-cocokkan itu.

Ketujuh, tiap pemahaman dasar terkait suatu prinsip Islam, juga tidak boleh dipaksa-paksakan untuk diterima oleh kelompok komunitas selain Islam. Sebab unsur pemaksaan itu sendiri sebenarnya sudah bertentangan dengan prinsip rahmat (merangkul dan mengayomi). Dan poin yang terakhir ini ranahnya adalah dakwah. Dan tiap dakwah adalah proses meyakinkan, bukan proses memaksakan.

Syarifuddin Abdullah | 06 Juni Mei 2018 / 21 Ramadhan 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun