Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Zalim dan Kezaliman (3)

26 Mei 2018   19:00 Diperbarui: 26 Mei 2018   19:00 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara kezaliman dan keadilan selalu ada proses trade-off: saling tindih-menindih dan saling mempengaruhi. Jika diibaratkan keduanya berada dalam satu ruang (misalnya dalam satu toples), kalau keadilan mendominasi ruang, maka kezaliman akan terdesak dan menyusut. Begitu pula sebaliknya, jika kezaliman mendominasi ruang, maka keadilan akan terdesak dan menyusut.

Tidak pernah terjadi, atau sulit mengukurnya, keduanya akan menempati ruang secara fifty-fifty. Selalu, salah satunya akan lebih dominan, dan yang lainnya terdesak atau menyusut.

Jika proses trade-off antara keadilan dan kezaliman itu coba dibawa ke dalam ranah praktek hidup keseharian di berbagai bidang, individual ataupun kelompok, sering terjadi pengambil kebijakan berasumsi bahwa kebijakan dan implementasinya telah memenuhi rasa keadilan, tapi sesungguhnya tidak. Begitu pula sebaliknya.

Sebab tiap kebijakan dan implementasinya, betapapun ia mengacu pada niat baik dan data yang obyektif, tak bisa sepenuhnya lepas dari pengaruh subyektif. Dan tiap faktor subyektif pada diri pengambil kebijakan akan selalu mengikutkan lingkungan terdekatnya: keluarganya, teman dekatnya, kolega terdekatnya, korpsnya, daerahnya, budayanya bahkan tetangganya. Tiap kebijakan tidak mungkin berangkat dari ruang hampa.

Konsekuensinya, sebenarnya, tidak satupun kebijakan yang luput dari kezaliman. Artinya juga, yang bisa dilakukan adalah memperkecil, bukan meniadakan, unsur kezalimannya.

Persoalan akan muncul jika unsur kezaliman yang melekat pada kebijakan itu menimpa orang-orang yang memiliki potensi untuk melawan, atau diasumsikan mampu melakukan perlawanan.

Ilustrasi: dalam suatu komunitas, saya adalah figur pengambil kebijakan. Dan di dalam komunitas itu, ada seorang Y yang diposisikan memiliki kapasitas di bidangnya. Jika saya memutuskan kebijakan tertentu yang merugikan si Y, maka bisa diduga anggota komunitas itu cenderung akan menyalahkan kebijakan saya, yang dianggap menzalimi si Y. 

Mungkin saya terus menerus mendapatkan doa laknat dari semua anggota komunitas tersebut. Posisi saya yang disalahkan itu hanya mungkin dipulihkan dengan mengambil kebijakan baru, yang mengoreksi kebijakan pertama yang dianggap merugikan si Y.

BERSAMBUNG

Syarifuddin Abdullah | 26 Mei 2018 / 10 Ramadhan 1439H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun