Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penyebab dan Pemicu Radikalisme dan Terorisme

24 Mei 2018   17:00 Diperbarui: 24 Mei 2018   18:01 7307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu dan mungkin hingga saat ini, banyak orang bilang, faktor ekonomi adalah pemicu utama munculnya paham radikal dan terorisme. Argumen ini terbantahkan oleh banyak kasus faktual, antara lain kasus Usamah bin Laden (yang kaya raya), dan terakhir kasus Dita sekeluarga (pelaku bom Surabaya, 13 Mei 2018) yang relatif mapan secara ekonomi. Lagi pula, banyak sekali orang melarat secara ekonomi di Indonesia, yang tidak terlibat dalam kegiatan radikalisme dan terorisme.

Dulu dan mungkin hingga saat ini, banyak juga orang bilang, pemicu utama terorisme adalah pendidikan rendah. Argumen ini terbantahkan oleh banyaknya sarjana yang aktif dan terlibat dalam kasus teror.

Abu Bakar Al-Baghdady, pemimpin ISIS adalah S3 bidang Syariah. Amman Abdurrahman, pemimpin Jamaah Ansharud Daulah (JAD) juga sarjana Syariah. Dan banyak sarjana bidang umum yang aktif di kelompok atau organisasi radikal. Masih ingat Dr. Azhari dari Malaysia?

Dulu dan barangkali hingga saat ini, banyak juga pengamat yang berkesimpulan, pemicu radikalisme dan terorisme adalah faktor psikologis: ketidakmampuan mengontrol diri, ingin cepat meraih harapan tanpa proses alami; putus asa akibat teralienasi dari lingkungannya; mungkin kecewa akut terhadap kondisi lingkungan sosialnya.

Pokoknya segala macam argumen para pakar. Namun beberapa hasil riset membuktikan, semua tersangka atau pelaku aksi teror umumnya sangat normal secara kejiwaan. Sering terjadi malah psikolognya yang dibuat bingung menghadapi orang-orang radikal.

Tentu akan keliru juga jika menafikan secara total pengaruh tiga faktor di atas (ekonomi, keilmuan, dan psikologis). Cuma saya tetap berargumen, pemicu utama (bahkan mungkin bisa disebut pemicu tunggal paling dominan) terjadinya radikalisme dan terorisme adalah pemahaman dan/atau tafsir terhadap teks. Makanya disebut isme (paham). Di sini faktor indoktrinasi memegang peran kunci. Lainnya adalah pemicu sekunder.

Kita tidak mau melakukan simplikasi terhadap persoalan yang memang pelik dan njlimet. Pada saat yang sama, kita juga tidak ingin merumitkan persoalan yang sebenarnya gampang. Sebab kedua jenis perlakuan seperti itu, tingkat kezalimannya sama.

Satu hal yang pasti: identifikasi persoalan yang keliru akan mengantar pada kekeliruan berlapis-lapis ketika merumuskan kebijakan dan/atau aksi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Karana itu, saya ingin kembali menegaskan poin yang telah berulangkali disampaikan dalam beberapa artikel sebelumnya: untuk menghadapi kelompok radikal diperlukan tiga acuan atau syarat utama berikut:

Pertama, adalah keliru besar jika melakukan penilaian underestimate terhadap mereka yang aktif di kelompok-kelompok radikal. Mereka terlalu cerdas untuk dianggap bodoh, atau kita akan menjadi ikut bodoh jika mengabaikan kepolosan mereka yang bisa meningkat menjadi nekat.

Kedua, para pelaku program deradikalisasi (institusi pemerintahan ataupun masyarakat sipil) harus menguasai betul argumen dan tafsir radikal terhadap tiap teks yang menjadi acuan radikalisme. Di sini tiap argumen harus diperhadapkan secara head-to-head. Jika tidak, akan menjadi sasaran cemoohan oleh kelompok radikal. Akibatnya, deradikalisasi akan menjadi mandul. Deradikalisasi itu bukan kerja amatiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun