Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Raja Salman Akhirnya Membolehkan Wanita Saudi Menyetir Mobil

28 September 2017   00:01 Diperbarui: 28 September 2017   21:47 3443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ikustrasi: aljazeera.net (versi Arab)

Pada Selasa sore waktu Saudi Arabia (26/9), Raja Salman dari Kerajaan Saudi Arabia (KSA) mengeluarkan titah kerajaan yang membolehkan wanita di KSA menyetir mobil, yang akan berlaku efektif mulai pertengahan tahun depan. Titah itu berisi penjelasan bahwa Lembaga Ulama Saudi juga sudah menfatwakan bahwa hukum dasar menyetir mobil bagi wanita adalah mubah (boleh).

Beberapa hari sebelumnya, KSA juga membolehkan wanita ikut menyaksikan pertandingan olahraga di stadiun, pertunjukan musik dan pesta kembang api.

Terkait itu, ada sejumlah catatan yang penting dicermati:

Pertama, persoalan menyetir mobil bagi wanita di KSA memang sudah lama menjadi perdebatan publik. Pada Desember 2005 muncul sebuah survei di Riyadh, yang menyimpulkan bahwa 60 persen rakyat KSA, baik pria ataupun wanita, mendukung pencabutan larangan menyetir mobil bagi wanita.

Pada 2013, sekitar 6.000 (enam ribu) warga laki dan wanita di KSA menandatangani sebuah petisi yang berjudul "Menyetir mobil bagi wanita adalah soal pilihan, bukan paksaan", yang menuntut pencabutan larangan menyetir mobil bagi wanita.

Tapi pada pertengahan September 2017, seorang ulama KSA, Saad Al-Hajary menyampaikan ceramah yang berjudul "20 Kerusakan Bila Wanita Diizinkan Menyetir Mobil", yang antara lain menyebut wanita hanya memiliki "seperempat akal", dan karena itu, tidak boleh dibiarkan untuk menyetir mobil.

Kedua, larangan menyetir mobil bagi wanita di KSA muncul pertama kali ketika Lembaga Ulama Besar (institusi resmi keagamaan) di Saudi dipimpin Syaikh Abdullah bin Baz, yang mengeluarkan fatwa yang kemudian populer dengan sebutan "Keterangan 1411 Hijriah" pada tahun 1990, yang antara lain mengatakan, "Wanita tidak boleh menyetir mobil, karena bertentangan dengan Syariat Islam, dan bagi wanita yang menyetir mobil harus dihukum".

Ketiga, yang unik dari pencabutan larangan menyetir mobil bagi wanita  melalui titah kerajaan pada 26 September 2017, karena pada hari berikutnya (27 September 2017), koran Sabaq di Saudi memuat keterangan bahwa "Mengolok-olok titah kerajaan diancam hukuman lima tahun penjara atau denda sebesar tiga juta Rial Saudi (sekitar 11 miliar rupiah)." Klausul tambahan ini tampaknya untuk mengantisipasi olok-olok terhadap telatnya pencabutan larangan menyetir mobil bagi wanita di KSA.

Keempat, sampai tanggal 26 September 2017 kemarin, KSA adalah satu-satunya negara di dunia yang masih melarang wanita menyetir mobil di jalanan umum. Dan pencabutan larangan itu merupakan terobosan lanjutan, setelah beberapa hari sebelumnya, KSA mengurangi wewenang Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yang sebelumnya berdiri sendiri dan sangat powerful dalam mengontrol praktek keagamaan di KSA. Pengurangan wewenang itu dilakukan dengan menempatkan Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar tidak lagi berdiri sendiri, tapi berada di bawah Kementerian Urusan Agama.

Kelima, sejak Raja Salman berkuasa di KSA pada 2015, dan pengangkatan putranya Muhammad bin Salman sebagai Putra Mahkota pada Juni 2017, KSA memang mengalami perubahan melalui sejumlah titah kerajaan, yang sering memicu wacana dan perdebatan publik di kalangan warga KSA, karena dinilai tidak lazim dibanding periode sebelumnya. Dan kita berharap, perubahan-perubahan itu pada akhirnya akan mengantar KSA ke kondisi yang lebih baik.

Keenam, masalah boleh-tidaknya wanita menyetir mobil sebenarnya lebih sebagai persoalan dinamika sosial dalam suatu komunitas atau bangsa, dibanding sebagai persoalan hukum fikhi. Karena itu saya samasekali tidak tertarik mengulasnya dari sudut pandang hukum fikhi.

Syarifuddin Abdullah | 28 September 2017 / 08 Muharram 1439H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun