Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menguji Efektivitas Program Deradikalisasi

31 Agustus 2017   06:42 Diperbarui: 31 Agustus 2017   11:31 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang yang percaya bahwa seradikal bagaimanapun seseorang di bidang keagamaan, tetap saja ada kemungkinan dia berubah menjadi moderat. Itu benar dan ada sejumlah kasus yang membuktikannya.

Namun ada penjelasan lain yang juga mungkin perlu diwacanakan.

Ilustrasi: seorang Muslim yang terbiasa qunut subuh, lalu diminta tidak qunut subuh, pasti perasaannya gak enak. Dalam gambaran ekstremnya, dia malah mungkin akan mengulangi shalat subuhnya, dengan asumsi shalat subuh tanpa qunut adalah tidak sah. Begitu pula sebaliknya: kalau sudah terbiasa shalat fajar tanpa qunut, lalu diminta untuk qunut, perasaannya pasti kurang nyaman juga.

Jika dalam soal qunut saja, yang notabene hukumnya sunnat, seorang Muslim bisa merasa kurang atau tidak nyaman, dan susah untuk mengubah kebiasaannya itu, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya melakukan deradikalisasi, yang notabebe bersinggungan dengan masalah ideologis, dengan dalil-dalil yang kadang hitam-putih: wajib dan haram.

Kalau ilustrasi itu dinaikkan levelnya, dalam kasus Indonesia, sangat jarang terjadi seorang warga Muhammadiyah berpindah aliran menjadi warga NU. Seperti langkanya warga NU yang bergeser keyakinan menjadi warga Muhammadiyah.

Mengacu pada fakta-fakta sosial keagamaan seperti dilustrasikan di atas, banyak orang yang kemudian meragukan atau paling tidak mempertanyakan efektivitas program deradikalisasi.

Secara umum dan singkat, deradikalisasi bermakna membuat orang radikal menjadi tidak radikal atau mengubah paham radikal menjadi paham moderat. Dan itu tidak gampang, dan akan tambah keliru bila coba digampang-gampangkan.

Dalam beberapa artikel sebelumnya, saya menulis jangan dikira menjadi radikal itu gampang! Sulit itu, Bung. Sebab mereka yang kita anggap radikal telah melewati proses indoktrinasi atau radikalisasi yang intens, mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Mereka telah dicekoki dalil-dalil dan kisah-kisah yang memperkuat paham radikalnya.

Nah, ketika kita mendatangi dan coba menggiring mereka agar meningggalkan paham radikal dan beralih menjadi moderat, maka kemungkinan yang paling mungkin terjadi adalah para pegiat deradikalisasi akan ditertawakan. Khususnya jika pelaku deradikalisasi tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai. Sebab suka tidak suka, dalam program deradikalisasi, adu argumentasi menjadi tak terelakkan. Dan setiap perdebatan selalu ada kemungkinan kedua pihak malah semakin bersikeras dengan pandangannya masing-masing.

Mungkin karena itulah, dalam agenda War on Terror, Amerika dan negara-negara Eropa serta beberapa negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara memang tidak mengenal dan bahkan tidak setuju dengan program deradikaliasasi. Mereka lebih fokus pada agenda disengagement, counter violent, counter extremism, atau counter narrative. Agenda-agenda ini kadang dilakukan tanpa tebang pilih. Sapu rata, sapu jagat.

Majalah The Economist, edisi 24 Agustus 2017, menurunkan laporan utama dengan judul sampul "The Puzzle of Political Islam" yang antara lain menyimpulkan bahwa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun