Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang mengagumkan. Meskipun tergolong ke dalam fiksi, puisi tidak serta merta berangkat dari imajinasi semata. Ada banyak karya-karya puisi yang berangkat berdasarkan refleksi atas realitas. Sehingga melalui keindahan dan kedalaman bahasa, diksi, serta berbagai metafora lainnya seringkali menyentuh dan menggugah perasaan pembacanya. Bahkan sekelas filsuf seperti Xenophanes dan Parmenides pun memilih karya nya dalam bentuk puisi.Â
Dan puisi yang berjudul "bukan kita" ini pun merupakan sebuah refleksi atas realitas. Yaitu sebuah keadaan dilema yang muncul akibat perpisahan. Sebagaimana orang-orang mengatakan nya bahwa jatuh cinta adalah patah hati yang paling sengaja. Sehingga ketika seseorang sedang mengalami otentisitas cinta maka harus siap sedia dengan segala konsekuensi nya. Berikut adalah terjemahan rasa yang terungkap melalui kata-kata :
Tatkala gemuruh di kepalamu mencederai lubuk.
Diam-diam, sayatan elegi menyelinap ke dasar nurani.
membuat kekalutan kian hari kian menggunduk.
Sehingga semesta bergerak tak lagi seperti semesti.
Kenangan masa silam yang terlahir akibat pemergian.
Memaksa diri tuk menyusuri semak belukar yang kau tanam.
Ketika kenangan semakin menjulang ke langit-langit pengharapan.
Kau serahkan hak asuh nya kepada ku yang masih terhunus oleh luka yang mencengkeram.
Padahal kenangan lalu adalah anak kandung yang kau lahir kan dari rahim mu.
Lalu kenapa hanya aku yang mendapatkan hak asuh nya.
Bukankah engkau yang mengumumkan pada khalayak kumbang di bunga mu?.
Ujar mu, kau gila! Kenangan kita tak pantas kau bawa-bawa.
Hhh.. Aku terjerembab dalam kata-kata mu.
Kini, kubiarkan engkau bebas merdeka merawat bunga yang kau jaga.
Biarlah hanya ilalang yang tumbuh subur di jalaran sukma ku.
Sampai waktunya, kau takkan kubiarkan lagi menjadi kita.
Febri TrifandaÂ
Bukit lantak, 08 februari 2021