Mohon tunggu...
SA_LIA KUSUMANING TYAS
SA_LIA KUSUMANING TYAS Mohon Tunggu... Lainnya - Lia Kusumaning Tyas

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manifestasi Interkoneksi Sosial Masyarakat Paseban, Bayat, Klaten dalam Tradisi Sadranan

17 Januari 2021   07:10 Diperbarui: 17 Januari 2021   07:41 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang terjalin karena adanya sistem tertentu yang mengikat mereka untuk mencapai suatu tujuan yang sama. Sistem tersebut berupa agama, hukum, tradisi, dan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Sistem yang muncul dalam tatanan masyarakat secara alami mengakibatkan  interkoneksi sosial.

Interkoneksi sosial yang dimaksud dapat ditemukan dalam tradisi sadranan yang dilakukan oleh masyarakat Paseban, Bayat, Klaten. Awalnya hanya digunakan sebagai metode Islamisasi di daerah Paseban yang sampai sekarang masih dilestarikan dan menjadi sarana wisata religi umat Muslim. Agama Islam menjadi pencetus awal tradisi ini karena meluasnya ajaran Islam yang dibawa para sunan ke pelosok daerah. Manifestasi dari interkoneksi itu sendiri berupa rasa kebersamaan antar peserta ziarah, rasa hormat antar sesama dan orang yang sudah meninggal, rasa damai dalam hati, dan membentuk akhlak yang lebih baik lagi.

Dikutip dari Turner (2006: 85) yang menjelaskan padangan Durkheim bahwa wujud fenomena riil dan objektif yang ada dibalik simbol-simbol religius bukanlah Tuhan, melainkan masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan adanya tradisi yang muncul setelah Islam datang dapat menjadi media untuk memperkuat religiusitas individu.

Sadranan  merupakan tradisi untuk menyambut bulan ramadhan dengan melakukan berbagai kegiatan sebagai media penyucian diri. Setiap daerah memiliki cara masing-masing untuk menyambut awal puasa, karena memiliki keragaman budaya masing-masing. Keragaman disini memiliki peran penting sebagai salah satu faktor untuk menjunjung tinggi toleransi antar masyarakat budaya.

Seperti ziarah ke makam Sunan Pandanaran yang merupakan tokoh besar dalam menyiarkan ajaran Islam ditanah Jawa. Digelar oleh masyarakat Paseban, Bayat, Klaten  tanggal 24 dibulan ruwah dalam tanggalan Jawa. Sadranan  juga dikenal dengan nama jodangan yang merupakan tempat untuk membawa nasi kenduri yang biasanya dibawa masyarakat ketika prosesi menaiki anak tangga menuju pemakaman.

Sadranan sebagai wujud akulturasi Islam dengan budaya setempat yang masih kental dengan keyakinan Budha, Hindu, Animisme, Dinamisme dan kepercayaan lainnya. Dalam perpaduan budaya tersebut menghasilkan nilai-nilai luhur untuk dinikmati masyarakat  umum. Secara tidak langsung ajaran Islam mempengaruhi daya pikir serta tindakan masyarakat dalam menjalani kehidupan duniawinya.

Namun dalam prakteknya Sunan Pandanaran memakai metode penyebaran sinkretisme yang memadukan antara kebudayaan asli, Hindu dan Islam. Itu terlihat dari bentuk makam, bangunan jirat, ornamen penghias, prosesi dari tradisi ini dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

Tradisi sadranan juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan karena adanya kegiatan pembacaan doa-doa, zikir dan sholawatan. Masyarakat sekitar percaya bahwa Sunan Pandanaran merupakan murid serta memiliki unsur karamah seperti Sunan Kalijaga. Kepercayaan orang jawa bahwa ziarah tidak hanya mendoakan orang yang sudah meninggal, tetapi juga meminta doa kepada tokoh besar yang diyakini memilikinya. Kepercayaan seperti ini sering dikatakan sebagai religius magis yang memadukan hal-hal mistik dengan ajaran Islam.

Ajaran yang dibawa Sunan Pandanaran menjadi arah baru bagi warga sekitar. Dengan masuknya Islam kepelosok daerah membuka mata dan hati untuk lebih peka terhadap fenomena yang kian hari memperumit kehidupan. Sunan memberikan pemahaman dalam dakwahnya berdasarkan Al-qur'an dan Hadis sebagai dasar hukum utama. Kedua sumber tersebut merupakan sumber yang pasti dan real dalam kehidupan duniawi maupun di alam kekal kelak. Sampai saat ini nilai-nilai hasil perpaduan kebudayaan yang diajarkan Sunan Pandanaran dimasa lalu masih dilestarikan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Situs makam ini berada di bukit Jabalkat tepatnya di kompleks Makam Tembayat. Bangunan sekitar masih berdiri kokoh dengan ditambah beberapa bangunan baru untuk melengkapi fasilitas bagi pengunjung dan fungsi semestinya. Beberapa bangunan kuno merupakan perpaduan antara kebudayaan Hindu seperti gapura yang mirip dengan candi bentar.

screenshot-2017-12-30-16-18-21-com-android-chrome-1514625569313-600383d6d541df3cbb7d2d62.jpg
screenshot-2017-12-30-16-18-21-com-android-chrome-1514625569313-600383d6d541df3cbb7d2d62.jpg
Selain kegiatan ziarah juga ada prosesi penggantian kain penutup makam atau sering disebut pasang langse. Petugas yang mengganti juga tidak sembarangan orang, karena ada beberapa alasan tertentu. Prosesi ini sebagai wujud hormat kepada tokoh tersebut karena jasanya yang telah menyiarkan ajaran Islam didaerah Paseban. Aturan yang berlaku juga harus ditaati panitia dan peziarah yang berkunjung selama berlangsungnya acara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun