Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Lelaki yang Rindu Rombongan Bupati

18 Desember 2018   11:49 Diperbarui: 18 Desember 2018   20:08 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiada yang lebih menghibur bagi lelaki tua ini selain duduk di depan rumah. Merasakan hadirnya iring-iringan mobil yang puluhan jumlahnya. Kendaraan berplat merah. Yang hampir semuanya berwarna hitam. Bersuara halus. Dan paling depan mengeluarkan bunyi, yang tiada bukan itu mobil polisi patroli pengawal.

"Baru kali ini. Ada rombongan seramai ini. Amat menyenangkan," pikirnya. Ia mendengar dari beberapa orang, jika itu semua iring-iringan rombongan bupati. Ia sendiri tak bisa persis melihat. Matanya rabun berat. Melihat kejauhan hanya selayak bayangan. Sudah tiga tahun menderita ini.

"Bupati yang baik hati," Pujinya dalam hati.

Semenjak sang bupati sekarang ini menjabat, ia selalu berkeliling daerah. Dari desa ke desa. Meninjau proyek dan mengikuti acara entah apalah itu. Serombongan, yang kadang bersama wakil bupati, beserta para kepala dinas. Sampai ada yang menyindir, ini bupati kurang kerjaan di kantor, senang keluyuran dan nada nyinyir lainnya.

Tapi bagi lelaki tua ini, kedatangan rombongan mereka amatlah membahagiakannya. Rumah sederhananya yang di tepi jalan, yang sekelilingnya hanyalah ladang, terasa terhormat jalan depan rumahnya kerap dilintasi petinggi daerah. Jauh-jauh, kupingnya yang masih awas itu mendengar bunyi mobil patwal. Tot....tot...tooooooot....tooooooot...tot. Ia hafal, suara itu penanda akan ada banyak mobil datang. Menggilas jalan aspal depan rumah. Ia bergegas keluar. Duduk di atas batu besar dekat emper rumah. Ia selalu tersenyum. Wajahnya sumringah. Sekali waktu ia lambaikan tangan kanannya. Ia tak peduli kendaraan itu cepat bergerak dan penumpangnya pun tak memperhatikan lambaiannya. Cuma, ia ingin memberi salam pada para "priyayi" itu.

Tapi beberapa hari ini ia murung. Keruput pada wajahnya seakan makin dalam. Ia kehilangan gairah. Lelaki ini kehilangan sesuatu yang menggembirakannya. Ia tak mau mengeluh pada anak perempuannya. Tak perlu, pikirnya. Nanti menambah beban saja. Anak perempuannya itupun hanya sebatas bisa memberi makan. Kedua anaknya sedang butuh biaya banyak di sekolah lanjutan. Suami di Jakarta jadi tukang bangunan. Sekali sebulan baru pulang. Maka ia pun tahu diri, tidak minta macam-macam. 

Lelaki tua ini tak bisa menghibur diri menonton televisi. Menyalakannya pun enggan. Apalagi dengan remote control, ia tak bisa. Hanya berita yang ingin dia simak. Tak lebih dari itu. Tapi tak mungkin juga. Ia mengalah. Anak perempuannya senang sekali dengan sinetron. Dua cucunya suka acara hiburan dan sepakbola. Maka hiburan yang menghangatkan jiwanya cuma menikmati iringan mobil rombongan bupati.

Tapi ia cemas. Juga curiga. "Ia pasti sudah enggan ke sini,"gumamnya. Sudah beberapa hari ia merasa sepi. Rindunya mendera, memendar ke dinding bambu rumahnya. Menghinggapi pada dedaunan ladangnya. Andai saja, pikirnya, istrinya masih hidup ia bisa berbagi rasa tentang masa tua. Bisa bersama duduk di batu depan rumah, yang dekat emper itu, menunggu mobil rombongan bupati.

Sekali waktu ia duduk sendiri. Lama di atas batu sebagaimana biasanya. Ia berharap, siapa tahu rombongan itu datang biarpun tanpa bunyi: tot.... tooooot.....tot.....tot. Suara mobil patwal yang warna putih itu.

Suatu hari ia pernah mendengar bunyi di kejauhan. Bergegaslah ia keluar rumah, meletakkan pantatnya pada batu kesayangannya. Tapi mobil itu melintas cepat. Dan cuma satu saja. Seseorang yang berada di jalan depan rumahnya menyapanya. Lelaki itu balik bertanya,"Mobil apa itu?" Dengan menghadap ke arahnya, lelaki yang di tepi jalan itu menyahut: ambulan!

Kemudian ia berpikir untuk keluar halaman rumah. Mencari suasana baru. Membuang jenuh. Tak ada hiburan yang bisa ditemukannya lagi. Ia ingin ke rumah para tetangga. Berkunjung ke orang-orang sepantaran. Tapi ia tak juga berani. Berkali-kali ia diingatkan anaknya." Tak usah keluar sana, nanti jatuh. Nanti tersandung batu. Nanti ketabrak motor!" Selalu itu yang ia dengar. Bahkan kedua cucunya pun enggan mengantar. Tapi lelaki tua ini pun pasrah. Bisa jadi mereka benar, renungnya sekali waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun