Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bus Malam

5 April 2016   13:39 Diperbarui: 5 April 2016   17:53 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kaskus.co.id"][/caption]Minggu malam yang tak seperti minggu biasanya. Agak ramai.

Bus bergerak perlahan dengan empat puluh enam penumpang berkarcis. Meninggalkan pangkalan Kebayoran Lama malam itu. Tepatnya pukul tujuh. Lalu lintas lancar, sedang bus pelan memasuki pintu Tol Ciledug 2 dan kemudian mengembara di atas aspal tol dalam kota. 

Lampu jalanan dan gedung-gedung menjulang menuding angkasa berpadu mesra dengan langit yang cerah. Saya tetap terkesima dengan pesona Jakarta pada malam hari. Entah kenapa, selalu saja begitu. Kagum yang tak berkesudahan dari dulu hingga kini. Bahkan lagu Andi Mariam Matalata yang sudah lebih dua puluhan tahun  yang lalu saat kali pertama berbisik di telinga, masih saja lekat dalam benak. “Lenggak Lenggok Jakarta”, lagu tahun 80-an itu, memang menggambarkan kehidupan metropolitan. Kata syairnya: “Jangankan cari sorga dunia, neraka dunia pun ada.” 1)

Apakah sorga dan neraka di Jakarta itu tampak jelas? Atau sumir? Dalam bercanda, saya ingin sekali membuktikan. Untungnya, tidak juga kesampaian.

Tidak tahu persis, berapa jumlah penumpang tak berkarcis dalam bus yang tengah saya bawa saat itu. Tentunya mereka balita. Artinya, saya mungkin saja  membawa  lima puluh nyawa manusia. Atau kurang dari itu. Atau kalau lebih, tak jauh dari jumlah itu. Tapi sudahlah, itu sudah biasa. Ini kan Indonesia. Jumlah penumpang yang tercatat dengan kenyataan sering beda. Dan cenderung lebih banyak.

Sekarang, bus  terus melaju mengendus pekatnya malam. Menghirup partikel-partikel yang melayang-layang di udara. Mengarah masuk ke pintu tol Cikedung-Indramayu, dan kemudian melintas kembali di sepanjang Tol Cipali. Kami baru menyelesaikan istirahat setengah jam tadi di rumah makan tepi jalan pantura. 

Ya, Jakarta hingga Indramayu terasa cepat. Tol membuatnya demikian. Kecuali jika bertemu libur panjang. Terlihat pemandangan yang berbeda. Tol keluar Jakarta berwajah tak ubahnya dengan kemacetan keseharian di Ibu Kota. Saya sering geli, negara yang tidak juga maju-maju ini, tapi memiliki jumlah mobil melebihi negara-negara maju. Mmm, semoga yang punya mobil orang-orang kaya beneran! Bukan sekedar pulang bermobil, untuk disebut sukses. Ada yang bilang, sukses saat ini ditunjukkan dengan memiliki kendaraan pribadi roda empat itu. Ah, benarkah begitu?

Mendekati pukul sebelas, malam  itu. Tol Cipali ke arah timur lengang. Seperti menembus jalan perawan saja. Padahal Cipali sudah lama tidak perawan lagi. Badan jalan lebih banyak dilintasi bus antarkota antarprovinsi. Sesekali mobil pribadi. Nyaris, truk angkutan barang dan sejenisnya tak tertangkap mata. Berbeda dengan jalur sebelah dari arah timur, kendaraan ramai lancar. Agaknya mereka sisa-sisa pemudik yang pulang sehabis berlibur panjang tiga hari. 

Saya menekan pedal gas hingga kecepatan 80 km/jam. Kemudian naik sedikit. Beberapa bus satu PO dengan saya berhasil terlampaui. Saya yakin, penumpang senang dengan kecepatan ini. Pikir saya, mereka pun ingin lekas sampai. Duduk terlalu lama dalam perjalanan panjang dalam bus ber-AC, tak selalu membuat orang kerasan.

Walau ada stiker menempel pada kaca belakang bus, bertuliskan: SESAMA BUS AKAP DILARANG SALING MENDAHULUI,2) saya mengabaikannya. Sikap saya kenyal terhadap hal itu. Bagi saya, jika memang harus mendahului, ya… mendahului saja. Apa dosanya! Apa harus membuntut supir gaek yang membawa bus 7000-an cc ini seperti membawa seekor unta? Hmm, kapan sampainya! Penumpang pasti nggrundel jika begitu. Cuma enggan berteriak saja. 

Biarpun supir, saya menempatkan diri pula sebagai penumpang. Ingin yang cepat. Yang penting jangan ugal-ugalan. Dan, kata yang paling membuat saya tersenyum dan teringat yang di rumah adalah “Demi Nyai”.  Saya terkesan dengan tulisan ini. Biasanya saya membaca pada pantat bak truk.

Bukan sekedar tulisan sembarang tulisan, menurut saya. Itu menjadi pengingat bagi yang ada di rumah: istri saya tentunya. “Kerjamu untuk dia. Jangan banyak jajan. Dan jangan sekali-kali ‘jajan’!” ucapan yang tertuju pada diri sendiri.

Hehehe…. Ya, semua  "Demi Nyai”!

Dan saya harus hati-hati, karena dia selalu menanti! 

***

“Sekarang di Tol Pejagan,” jawab saya kepada seorang teman supir yang menghubungi lewat HP.  Dia berangkat dari Terminal Kampung Rambutan.

Sebenarnya ber-HP-an pada saat mengemudi dilarang. Tapi entahlah, seperti sudah menjadi kebiasaan di antara kami. Kami sering mengontak sesama pengemudi satu trayek.  ekedar memberi kabar, membuang jenuh bahkan mungkin agar tahu posisi masing-masing. Ah, dasar mulut orang, kadang lepas kontrol, kami suka berlama-lama ngobrol lewat telepon seluler untuk sesuatu yang tidak penting pula.  Mungkin ada penumpang yang geram menyaksikannya.  Walaupun sudah ada tulisan pada papan fiber di belakang kursi kemudi: Ingatkan supir jika menggunakan HP saat mengemudi. Toh, nyatanya tak sekalipun pernah mendapat teguran dari para penumpang. Mungkin, mereka menganggap: percuma saja!

“Saya baru melewati Pintu Palimanan!” dia memberi tahu posisinya sekarang  di wilayah Cirebon.

“Oh, ya!” Kami pun menyudahi percakapan.

Membawa bus itu membawa nyawa manusia, kata istri saya pada suatu ketika. “Bukan nyawa hewan.” Urusannya bukan sekedar kerja, cari duit. Tapi harus punya tanggung jawab. Tahu kan, kalau kamu masuk penjara karena menabrak. Kecelakaan? Aku hanya manggut-manggut waktu dia berkata itu. 

Sekaranglah dia cerewet. Mungkin bentuk anomali perhatian dan kesetiaan pada belahan hati.

Saya dulu bilang kepada perempuan itu, jadi istri supir, maksudnya supir bus tentunya, harus siap menanggung risiko kerja suaminya.  Di jalan, kalau tidak nabrak, ya ditabrak! Sewaktu-waktu saya bisa sudah di rumah sakit. Bila kena apes berat, hilang pula nyawa. “Tahu-tahu kamu mendadak jadi janda!” Saya katakan itu sebelum kami menikah. 

Kini, bus sudah keluar dari jalan tol, berbelok ke arah selatan. Bus tidak lagi bisa bergerak cepat karena jalan sedikit bergelombang.

Untuk kali kedua, bus saya hentikan.  Istirahat.  Sebagian penumpang ikut turun. Ada yang berdiri di dekat bus, duduk di area parkir, sebagian ke kamar kecil.

***

Suasana  bus yang hening mendadak pecah. Seorang perempuan bersuara. “Pak Supir, lewat rumah makan Senja Indah, nggak?”

Agaknya ia ibu-ibu. Dengan menenteng tas, ia berjalan dari baris kursi tengah menuju ke bagian depan.

“Senja Indah?” kondektur bus menyahut.

“Iya!”

“Aduh Bu…, sudah jauh! Tadi kan kita berhenti di sana!” kata saya.

“Kenapa nggak bilang-bilang!”

Saya benar-benar terperanjat. Bus sudah melaju hampir dua puluh menit dari rumah makan, tempat peristirahatan kedua itu.

“Tuh, benar kan! Kan sudah aku bilang, tadi itu rumah makan Senja Indah!” ujar anak perempuan yang mengikuti ibu itu berdiri. 

Mungkin, dia anaknya. Ia masih  belasan tahun. Atau mendekati dua puluh tahun. Ada juga satu lagi di belakangnya. Anaknya kecil, mungkin usia SMP.  Walau lampu dalam bus sudah dinyalakan, tapi dari kaca spion tidak jelas, dia laki atau perempuan.

“Kok nggak ada yang teriak: ada yang mau turun di Senja Indah?  Biasanya kondektur kan begitu!” kata ibu itu lagi.

“Ah, tadi kan sudah dibilangin, ini rumah makan Senja Indah. Tapi Ibu ngak percaya!” seru anaknya lagi.

Saya tetap fokus mengemudi. Beberapa penumpang mungkin sama herannya dengan saya. Bukankah sudah biasa, di Rumah Makan Senja Indah itu Bus Akap selalu berhenti untuk istirahat. Saya menduga perempuan itu bingung. Bingung karena biasa berperjalanan siang hari. Begitu  menempuh perjalanan malam, ia merasa asing dengan tempat yang sebenarnya ia mengenal. Siapa yang tak kenal Rumah Makan Senja Indah. Besar dan luas. Ratusan Bus Akap bisa mengumpul di area parkirnya.

“Terus bagaimana ini?” tanya anak perempuan itu kepada ibunya.

“Turun di sini saja, Pak Supir!” teriak ibu itu.

Saya melihat jam digital di atas ruang kemudi: Pukul 2.10. Jalan sepi dan gelap. Nyaris tidak ada manusia terlihat di pinggiran jalan. Bukan pula jalur yang terdapat warung. Hanya pohon-pohon besar dan tinggi yang berjajar pada sisi kanan dan kiri.

“Jangan, Bu!” kata saya. “Di terminal saja nanti.”   

Bus nanti akan melintas di jalan lingkar luar sebuah kota kecil. Di sana ada terminal. Biasanya ada tukang ojek pangkalan menunggu penumpang turun di sana.

“Wah, jauh sekali, dong!”

“Pokoknya jangan di sini, Bu!” ujar kondektur menyambar.

Saya mematikan lampu dalam. Suasana sunyi. Kemudian ibu dan anaknya duduk di kursi yang kosong. Ada beberapa penumpang sudah turun setelah keluar dari pintu Tol Pejagan tadi.

Perempuan setengah baya bergaun merah jambu itu tampak menggerutu. Seperti ingin jengkel kepada awak bus. Juga merasa menyesal karena tidak mempercayaai ucapan anaknya.

“Silakan, Bu. Turun di sini saja,” kata saya. 

Bus sudah berhenti persis di depan pintu masuk terminal. Sekejap, tiga motor ojek menyerbu pintu keluar penumpang.

"Padahal tadi mereka turun dari bus," kata seorang lelaki yang duduk di belakang kursi kondektur. "Kalau bingung, kenapa nggak tanya.  Kan, banyak orang di sana!"

Ah, semoga mereka selamat sampai di rumah, pikir saya.

***

“Ada pembegalan!” ucap teman saya sambil menyodorkan koran lokal.

Saya deg-degan saat membaca judul sebuah koran lokal: Tiga Penumpang Bus Dibegal Dini Hari.

“Mungkinkah penumpang saya dua hari kemarin.”

Tempat kejadian perkaranya sama, itu yang saya baca pada kepala berita: di sebuah terminal di kota kecil itu pada dini hari kemarin lusa.

Keringat dingin di wajah mulai harus saya usap. Cemas. Saya mulai terjangkiti rasa bersalah karena seperti menelantarkan penumpang perempuan pada tengah malam. Seperti sudah melanggar kesepakatan dengan istri agar mengutamakan keselamatan perempuan. Dan saya sudah pula mengiyakan dengan sepenuh hati padanya. Kepada istri saya yang saya nikahi empat tahun itu.

Ketiga penumpang berangkat dari Kemayoran, lanjut berita koran lokal itu. Saya mengulang membaca: Berangkat dari Kemayoran.

Mmm, bukan Kebayoran!

Saya plong! Rasa cemas dan bersalah saya memudar. Saya lipat koran itu dan meletakkannya di atas meja begitu saja. Kemudian berdiri dan berjalan keluar dari dalam  mess awak bus sambil menyulut sebatang rokok Dji Sam Soe.

 

 ________Jakarta-Cipali-Bumiayu-Ajibarang, 03 April 2016

 1) Lenggak Lenggok Jakarta: Lagu karya Guruh Sukarno Putra, dipolulerkan oleh (alm) Andi Meriam Matalata. 2) Akap: Antar kota antar provinsi,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun