Mohon tunggu...
Septri Lediana Lanis
Septri Lediana Lanis Mohon Tunggu... writer and journalist -

Dikenal juga dengan nama Ledian Lanis www.lediana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengalir Seperti Air

17 Agustus 2015   09:46 Diperbarui: 17 Agustus 2015   09:46 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ketika dilahirkan ke bumi, mungkin kita seperti air hujan. Dari langit sama-sama kita datang. Lalu jatuh pada berbagai tempat, pada atap rumah, pekarangan, sawah, bahkan selokan. Lalu tiap kita punya perjalanan sendiri.

Seperti air pula, dalam menusuri jalan masing-masing kita mungkin sudah dikutuk atau dituntut untuk selalu bergerak, mengalir. Ingin tak ingin.

Bahkan ketika dibatas kita pada dinding, masih bisa kita meresap menelusup masuk ke dalamnya, mencari celah terkecil sekalipun. Pun terkukung kita pada jurang, masih bisa kita terjun bebas ke bawah atau meresap halus ke dalam tanah. Ingin? Atau tak ingin?

Sebagai air, seolah tak dibolehkan kita berdiam. Jika pun terlihat kita seolah tergenang sekian lama di suatu tempat, mereka hanya tak cukup teliti memperhatikan. Bahwa partikel-partikel kecil kita bergerak, menelusup ke celah, mengalir perlahan.

Mungkin seperti itu pulalah kita diminta untuk menjalani hidup. Tak dibolehkan berhenti bergerak, berhenti melangkah, tak peduli apapun merintang. Kita dikutuk atau dituntut untuk selalu mengalir.

Seperti air, kita memang tak akan pernah berhenti mengalir. Dan hidup terus berlanjut walaupun kita tak melakukan apa-apa. Tanpa kita sadari, terkadang diri kita telah melesap sendiri ke satu tempat baru. Entah selokan, entang kukungan tembok. Hanya saja kita tak menyadari. Seperti berdiam kita pada ruangan kosong, menyendiri. Namun waktu terus bergerak dan kita telah berpindah tempat dari satu keadaan ke keadaan lain. Dari diam, tak melakukan apa-apa hingga menjadi terpuruk. Lalu tertinggal waktu dan menyadari telah habis kesempatan untuk mencapai apa-apa. Dalam hidup.

Namun, seperti air yang mengalir pula, terkadang kita lupa apa yang harusnya dicapai dalam sebuah perjalanan (hidup). Sebelum akhirnya kembali pada udara yang basah. Pada langit.

Jika memang telah dikutuk kita untuk selalu bergerak? Mengapa tak mengalir kita dengan tujuan yang sebenar-benarnya. Mencari jalan pulang? Mengalir mencari arah samudera hingga dekat kita dengan “tempat untuk kembali”? pada langit? Di samudera, bisa sebebas-bebas kita memandang. Bisa sedekat-dekat kita merasa. Tanpa pohon, tanpa gedung, tanpa penghalang pandang.

Menjadi air, seringkali kita habiskan perjalanan untuk mengalir begitu saja. Mengikuti celah apapun yang ditemukan sengaja tak sengaja. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Hanya mengikuti kemana arah celah yang sembarangan ditemukan. Tanpa memilih.

Lalu ketika waktu sudah mendesak habis barulah kita menyadari, celah yang kita ikuti hanya membuat kita berputar-putar saja. Atau hanya membuat kita menggenang lama, lalu meresap ke celah yang tak tentu arah, tak bertujuan, tanpa hasil.

Ketika waktu sudah hampir selesai, barulah kita menyadari kenapa selama ini tak mencari celah yang mengalir ke samudera? Yang mendekatkan kita pada “tempat kembali”, hingga akhirnya benar-benar kembali. Ke udara yang basah. Ke langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun