Mohon tunggu...
Sujai Marali
Sujai Marali Mohon Tunggu... -

Pengarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keteguhan Hati Perempuan Buruh Pabrik Rokok

24 April 2012   07:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:11 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1363146840317253476

Judul           :  Khutbah di Bawah Lembah

Pengarang  :  S. JAI

Penerbit      :  Najah, Divapress Jogjakarta

Cetakan      :  Pertama, Pebruari 2012

ISBN           :  978-602-191-215-7

Harga          :  Rp 30.400

“…Saya telah menangkap spirit Roro Mendut ini juga berlangsung di sini. Bahwa Roro Mendut ini perempuan hebat, meskipun dia dicap sebagai budak.” Ini dia sebuah novel menggetarkan tentang pentingnya memiliki martabat dan harga diri!

Lebih dari itu pada novel ini, ada sedikit banyak ketaksadaranku yang kemudian kusadari di belakang hari tatkala membaca ulang novel tersebut. Yakni, bahwa ada kesan aku terpengaruh pada gaya dramatikal pada novel.

Artinya, struktur dramatik yang mirip pertunjukan-pertunjukan teater tertangkap dengan jelas di situ. Kuakui memang, jauh sebelum kutuliskan dalam bentuk novel, potongan-potongan peristiwanya kususun lebih dulu ke dalam bentuk mirip pertunjukan drama.  Baru kusadari juga bahwa, keterlibatanku yang inten di komunitas teater Keluarga, lalu Bengkel Muda Surabaya—utamanya saat penggarapan drama Nyai Adipati—cukup kuat dalam diriku.

Ada aroma pemberontakan dalam drama-drama itu.  Dan perlu untuk diketahui, Nyai Adipati drama berseting Lumajang di awal abad 20 ini diangkat dari novelet karya Mayon Sutrisno.  Mayon Sutrisno adalah salah seorang yang pernah terlibat dalam sejumlah penggarapan drama Rendra dan dialah yang yang memfiksikan adaptasi drama Rendra yang cukup terkenal, Perampok—juga dalam setting di Lumajang, meski berangka tahun sekitar 1600-an.  Bentuk-bentuk sastranya pun amat dekat dengan novel-novel Pramudya Ananta Toer—utamanya Bumi Manusia.  Kata kuncinya, begitu semerbak aroma pemberontakan dalam karya-karya itu.  Dan sudah barang tentu aroma yang serupa pada Khutbah Bawah Lembah.

Kesannya seolah-olah melalui novel ini aku kembali mementahkan seluruh sikap dan nilai subjektivitas  dalam film, drama maupun tulisan-tulisan opini terkait dengan perang terhadap asap rokok dan kebijakan maupun kenyataan lapangan selama ini.  Walaupun selama ini aku sudah mencoba tunjukkan melalui pelbagai bias dari setiap yang kulakukan atas itu.  Semisal, aku cenderung mengkampanyekan tulisan-tulisan anti asap rokok dalam bentuk esai dan bukan opini. Artinya, tak ada sikap yang benar-benar tegas tergambar di situ sebagai pencerminan sikapku. Esai selalu membuat pembaca senantiasa mempertanyakan dan bertindak kreatif. Begitu juga dengan drama racun tembakau orang tak begitu serta merta dengan gampang memvonis diriku selaku pejuang anti asap rokok.

Novel Khutbah di Bawah Lembah pun mengutuhkan itu semua sebagai suatu sikap tanpa sikap dalam sastra. Bukankah melalui sastralah yang menyimpan banyak tafsir tersebut. Betapa Khutbah di Bawah Lembah menggambarkan sungguh komplek persoalan gebalau asap rokok.  Betapa pelik dan tak sederhana sehingga aku perlu menghadirkan banyak sekali prespektif dari tokoh-tokohnya.

Ini dia sebuah novel menggetarkan tentang pentingnya memiliki martabat dan harga diri!  Kisah tentang keteguhan Nyonya Mendut, buruh pabrik rokok. Sementara, di sisi lain, dua orang lelaki, Abdul Basith Hikam (aktivis LSM) dan Fajar Abdillah (jurnalis) bukanlah sepasang sahabat. Namun, sepenggal peristiwa menyeret keduanya bertemu dalam perjumpaan batin yang misterius.

Keduanya terpaut pada simpul spirit hidup Nyonya Mendut—seorang perempuan buruh linting sebuah pabrik rokok yang berusaha menuntut kesejahteraan keluarganya dari nasib yang tak pernah kunjung membaik.

Tentu saja peristiwa itu mengusik pejabat pemerintah setempat yang dalam hal ini justru bukan memihaknya. Melainkan memihak pengusaha rokok tempat Nyonya Mendut bekerja.

Man Sapar, suami Nyonya Mendut, sudah mencium gelagat buruk persekongkolan pemerintah dan pengusaha rokok tersebut, namun ia keburu menemui ajal saat sebelum perlawanannya disebarkan kepada penduduk kampung.

Lantas, Mendutlah, yang kemudian sanggup melakukan perlawanan atas dorongan jurnalis, Fajar Abdillah dan di sisi lain peran Abdul Basith Hikam.  Mendut mengobarkan perlawanan moral dan bukan pemberontakan fisik yang kukuh oleh sepenggal fatwa.  Mendut melawan dengan panji meruntuhkan perbuatan dosa dengan keyakinan dan ketetapan hati.

Masalah mental, moral, ekonomi keluarga, negara, juga para pemangku kepentingan yang berusaha mengambil peran menyebabkan soal menjadi komplek dan pelik. Bagi Nyonya Mendut, ia tahu hal itu bukanlah cara terbaik mempertahankan hidup, tetapi ia menyakini akan mewariskan keyakinan dan harga diri serta kehormatannya pada puteri yang dicintainya—Mening.

Dengan kata lain aku lebih banyak melukiskan keadaan timpang yang dialami para buruh dan orang miskin ketimbang secara tegas memperlihatkan keberpihakan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun