Mohon tunggu...
S. A. R.
S. A. R. Mohon Tunggu... -

24 | PKY - ID |

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Yang Lupa Dibicarakan tentang Korupsi

25 Agustus 2014   03:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:39 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana yang terus berulang akhirnya menjadi kesepakatan, bahwa korupsi adalah salah satu masalah yang telah mengakar. Mereka para pakar melombakan nalaran, tentang mana yang bisa menjadikan negeri semakin besar.

Apa yang mereka bicarakan seringnya berupa langkah-langkah nyata, sebuah realisasi praktis dari satu konsep. Misal tentang bagaimana meminimalisir pungutan liar dengan pengelolaan sistem online, walau sistem lelang secara elektronik yang telah dilakukan selama lima tahun ini juga tak lepas dari kecurangan. Bisa pula berupa peningkatan kesejahteraan pemegang kuasa anggaran, walau dengan beban hidup yang ditanggung negara lewat tunjangan jabatan sampai detik ini juga tak cukup menjauhkan dari penyelewengan. Semua setuju dengan penerimaan SDM birokrasi yang berintegritas lewat sistem bersih dan terbuka, biarpun praktik korupsi banyak dilakukan oleh para atasan –yang sudah terlebih dahulu diterima. Mereka menjanjikan ketebukaan akses dokumen untuk transparansi anggaran, walau kita tahu hitam di atas putih itu berbeda dengan praktik lapangan. Mereka juga bicara penegakan hukum yang adil untuk semua, ketika penjara tak jauh beda dengan hotel berbintang lima.

Sebelumnya, bisa dibilang ini adalah tulisan sok tahu dari seorang yang jauh dari latar belakang pendidikan hukum, politik, atau ketatanegaraan. Karenanya tulisan ini tidak akan membahas teori-teori pemerintahan, namun ini lebih kepada pengalaman dan kehidupan, tentang hal-hal yang luput dari dialog kasus ini, namun begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Misalnya seperti ini.

I.

Atas nama efisiensi, semua bentuk praktik disahkan lewat sebuah tulisan yang tersertifikasi. Dalam perjalanannya, segala bentuk formalitas ini menjadi birokrasi yang berjalan menjauhi dari realita. Karena sebagian besar pengalaman kerja berada dalam dunia pekerjaan jasa konstruksi, maka akan banyak contoh yang berasal dari kehidupan di dalamnya.

Dalam proses pembangunan infrasruktur terdapat tiga buah pekerjaan, yaitu pekerjaan perencanaan, pekerjaan pengawasan, dan pekerjaan pelaksanaan. Nilai dari sebuah pekerjaan fisik infrastruktur tersebut sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah terkait lewat rencana anggaran. Konsultan perencana merancang sebuah desain yang sesuai dengan nilai anggaran, kemudian menyediakan dokumen berupa gambar dan Bill of Quantity(BQ) atau Rencana Anggaran Biaya (RAB) tanpa harga satuan.

Pada proses pelaksanaann, kontraktor pemenang tender pekerjaan pelaksaanan mengisi harga satuan pekerjaan dalam RAB tersebut (untuk lebih jelasnya lihat contoh RAB ini). Harga material, tenaga kerja atau alat yang dipakai bukanlah berasal dari harga yang ada di pasaran, melainkan berasal dari harga satuan bahan bangunan yang telah ditetapkan pemerintah lokal, biasanya disebut dengan basic price. Basic price memiliki nominal yang lebih tinggi dibanding dengan harga pasaran, dengan anggapan harga-harga tersebut sudah termasuk pajak.

Pada realisasinya, pajak yang membuat basic price lebih mahal itu dibayarkan secara langsung pada pengelola pajak. Setiap pengambilan uang muka atau termyn, kontraktor wajib membayarkan pajak sesuai prosentase uang yang diambil, walau dalam uraian yang tertuang dalam RAB sendiri tidak ditemukan alokasi dana untuk pembayaran pajak. RAB menguraikan cukup jelas bahwa jumlah nilai yang diajukan murni untuk proses pembangunan. Bisa kita lihat, bahkan antar dokumen legal saja terdapat inkonsistensi satu sama lain.

Inkonsistensi lainnya bisa kita lihat pada Analisa Satuan Harga Pekerjaan (ASHP) yang distandarkan oleh pemerintah. Pada setiap satuan pekerjaan, terdapat standar koefisien untuk tukang, material, dan alat. Misal untuk membuat kolom beton bertulang setiap m3 nya, diperlukan mandor, kepala tukang batu, tukang batu, tukang kayu, tukang besi, dan pekerja dengan berbagai koefisien nilai. Koefisien ini kemudian dikalikan dengan daftar harga upah yang ada di basic price, sehingga didapatkan nilai upah tenaga kerja sesuai pekerjaan dan volumnya. Kenyataannya, pakah para pekerja bangunan ini dibayar sesuai standar ASHP dengan volume yang sesuai? Sering yang terjadi di lapangan tenaga tukang dibayar atas asas jual beli; suka sama suka. Jual beli jasa ini pun terjadi di bagian pucuk pekerja, antara rekanan pelaksana dengan mandor atau kepala tukang. Bagaimana aliran dana menuju pekerja/buruh bangunan itu sudah di luar kendali SNI.

Hal yang sama juga sering didapati dalam jual beli material. Cobalah tengok bagian AHSP dalam setiap RAB, kita tahu bahwa dalam setiap poin pekerjaan, material –seperti halnya juga pekerja, memiliki koefisien masing-masing. Masih dalam poin pembuatan kolom beton bertulang, material yang dibutuhkan adalah Kayu Terentang, Paku Biasa 2”-5”, Minyak Bekisting, Besi Beton polos, dan masih banyak lagi. Walau sudah bertahun-tahun rekanan pekerjaan pelaksanaan membeli bahan cor beton jadi (ready mix), toh sampai sekarang dalam setiap rencanan pekerjaan beton tetap menggunakan AHSP yang mengisyaratkan kerja manual material dan tukang. Sudah pasti, harga yang dibeli untuk setiap material jelas berbeda dengan apa yang diajukan di RAB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun