Mohon tunggu...
S. A. R.
S. A. R. Mohon Tunggu... -

24 | PKY - ID |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkosaan: Situ yang Mancing Atau Otakmu yang Porno?

29 Maret 2014   19:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa saat lalu saya terlibat pertukaran pikiran dengan beberapa orang, secara terpisah, mengenai kasus-kasus perkosaan dan reaksi-reaksi yang mengikutinya. Karena hampir pada semua perbincangan berujung emosi, saya mencoba undur diri. Tujuannya untuk menjernihkan pikiran dan melihat persoalan secara gamblang. Proses itu diakomodir oleh tulisan ini. So, here goes.

Dalam regional Indonesia saja, entah sudah berapa ratus bahkan ribu kasus perkosaan yang terjadi (belum termasuk pelecehan). Dari sekian banyak itu, nyaris semuanya berkorbankan perempuan –sehingga ini berarti, pria lah yang disalahkan. Lama kelamaan, para pria pun angkat bicara. Katanya, tindakan pemerkosaan itu dipicu oleh banyak faktor, salah satunya perempuan itu sendiri. Intinya, pria-pria ini beralasan bahwa tendensi untuk memperkosa muncul karena si perempuan yang memancing. Pernyataan ini lalu menimbulkan pihak oposisi dengan argumen bahwa keterpancingan itu muncul karena otak si pria yang dari sananya memang kotor.

Kebebasan adalah kunci argumen dari pihak ini. Bahwa adalah hak setiap orang, untuk berpakaian seperti apapun. Bahwa apapun yang dia kenakan adalah urusannya sendiri, tidak membawa dampak apapun untuk orang lain, apalagi merugikan. Jadi kalau ada perempuan pakai rok mini, itu adalah hak nya dan tidak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Yang makai rok mini itu si perempuan. Sementara ketika ada pihak lain –biasanya pria, yang mencoba melakukan reaksi langsung pada perempuan, itu adalah urusan antara dia dan perempuan itu. Nah, urusan yang terjadi antara perempuan dan pria ini bisa berupa ‘suka sama suka’ atau ‘satu suka satu tak suka’. Ah, maafkan bahasa yang Ayu Utami ini.

Logika ini saya percayai sekitar lima tahun lalu. Namun setelah mengenyam pendidikan arsitektur, saya merasa pemikiran itu harus direvisi. Kenapa? Karena selama empat setengah tahun, saya belajar tentang dampak sebuah visualisasi pada lingkungan. Mulai dari perbedaan efek dari penggunaan skema warna komplementer dan analogus, pemilihan gaya minimalis dengan klasik, kayu sebagai material yang memberi kesan hangat sampai beton yang dingin, fasad yang menunjukkan bangunan publik dan privat, juga studi-studi tentang simbol, transformasi dan analogi. Visual culture.

Dari proses pembelajaran itu saya sepakat bahwa sebuah tampilan dari bangunan jelas akan memberikan dampak –bisa bagi pengguna, sekelilingnya (bahkan bangunan lain), atau sekedar yang melihatnya. Ketika benda mati seperti bangunan bisa memberikan dampak, mengapa saya percaya bahwa tampilan manusia –makhluk bernyawa yang sangat reaktif, tidak memberikan dampak apa-apa bagi yang melihat?

Mungkin ini akan susah diproses, maka saya berikan contoh lagi. Misalnya kasus seperti ini; ada seorang ibu pergi ke pasar tradisional. Ia memakai begitu banyak perhiasan betumpuk-tumpuk, ketika pulang ia dijambret maling. Lalu apakah memakai gelang emas sampai siku adalah bentuk kebebasan berekspresi yang tidak ada hubungannya dengan maling-maling yang lapar?

Sampai sini tulisan saya seakan mendukung pemikiran bahwa adalah sebuah kewajaran apabila seorang pria akhirnya terstimulus akibat melihat yang mulus-mulus berujung pada tindakan pemerkosaan. Tidak.

Sebagai seorang perempuan, saya tidak pernah betul mengerti bagaimana dampak dari penunjukan paha atau belahan dada bagi seorang pria. Oke, ini perlu direvisi lagi. Sebagai seorang perempuan heteroseksual saya tidak mengerti bagaimana sebenarnya dampak dari tampilnya tubuh wanita bagi pihak-pihak yang tertarik secara seksual padanya.

Tapi yang pasti, melihat adalah sebuah proses awal stimulisasi yang berujung pada keadaan terstimulus. Banyaknya pertunjukan tubuh dari perempuan di keseharian merupukan stimulus yang terakumulasi menjadi hasrat terpendam. Sampai pada satu titik, hasrat itu perlu dikeluarkan. Nah, proses biologis alamiah inilah yang menjadi alasan umum seorang pria untuk akhirnya bereaksi kepada perempuan. Di sinilah perbedaannya; tampilan yang ditunjukkan seorang perempuan adalah bukan hanya urusan dia sendiri.

Lalu, apakah sebuah kewajaran tindakan perkosaan itu? Jelas tidak. Itu jelas-jelas tindakan kriminal. Ketika akhirnya seorang pria melakukan pemerkosaan, itu adalah keputusannya. Dia yang memutuskan untuk memenuhi atau menahan hasrat yang ada. Dalam banyak perbincangan, para pria mempertanyakan; ketika setiap saat disuguhi pemandangan stimultan sehingga mereka jadi terstimulus, apa lagi yang bisa dilakukan? Secara tersirat, mereka seakan mengatakan bahwa perempuan-perempuan yang mengumbar pemandangan itulah yang harusnya bertanggung jawab, sehingga hasrat itu tidak harus berakhir di tangan sendiri.

Karena itulah para pria yang baik hati akhirnya meminta para perempuan untuk tidak mengumbar pemandangan-pemandangan tadi. Logikanya, ketika suguhan stimulus itu tidak tersedia, maka para pria tidak akan terstimulus sehingga kasus pemerkosaan tak akan ada. Hore!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun