Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"1917" dan Panggung Besar Humanisme dalam Narasi Perang

27 Januari 2020   14:43 Diperbarui: 28 Januari 2020   05:35 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian adegan pembuka yang monumental dalam film--screenrant.com

Coba saja bayangkan kalau adegan Scho dan Blake dibidik secara terpisah dan terputus-putus, juga ada selipan adegan tokoh pendukung tanpa kehadiran tokoh utama dalam satu adegan.

Tentu pengalaman yang dihasilkan akan berbeda. Pengalaman humanis akan tetap ada, tapi tak akan seintim one-shot.

Film dengan teknik one-shot yang pernah saya tonton baru Birdman (2014), sih. Birdman masih mentolerir adegan tokoh pendukung yang masuk tanpa didampingi tokoh utama.

Sementara 1917, tak satu pun frame yang tidak menyertai tokoh utama. Kamera selalu mengikuti pergerakan Scho dan Blake. Mendes benar-benar tak ingin kita lengah sedetik pun!

Soal visual, film perang kerap identik dengan adegan saling serang senjata, kematian yang mengenaskan, dan tumpukan mayat-mayat yang membusuk.

Sebagian orang barangkali ada yang lebih suka Saving Private Ryan dengan alasan lebih banyak adegan serangan yang mendebarkan ketimbang 1917. 

Meski 1917 tak melupakan unsur-unsur penuh kengerian itu, ia bisa mengimbanginya dengan penekanan unsur yang berlawanan, seperti lanskap hijau pedesaan tak berpenghuni, atau hutan yang teduh, dan terutama hamparan rumput hijau pada bagian pembuka dan penutup film.

Agaknya saya cukup muak dan jenuh dengan eksploitasi adegan kekerasan yang seolah-olah sudah jadi menu wajib dalam visual bertema perang. Saya pribadi suka dengan peralihan antar-latar tempat yang disorot 1917.

Sebab, ini berperan betul terhadap pengaruh naik-turunnya perasaan tegang penonton. Ada momen-momen tertentu saat mata penonton "diistirahatkan" dan tak melulu dijejali visual yang sarat kekerasan.

Adegan 1917 dibuka saat Scho bersandar di sebuah batang pohon, sementara Blake berbaring di atas rumput. Di akhir cerita, Scho bersandar lagi di batang pohon, hanya saja Blake tak lagi ada di sisinya. Ada kebisuan yang takzim pada lanskap rumput hijau dalam latar itu.

Di akhir adegan, Scho terpaku menatap foto keluarga yang disimpan dalam sakunya. Pikirannya masih terbayang sosok Blake yang mati di no-man's land. Juga, barangkali ia masih terngiang-ngiang petikan lagu The Wayfaring Stranger yang dilantunkan batalion terakhir sebelum berangkat menuju garis depan,

"I'm going there to see my mother. She said she'd meet me when I come. I'm only going over Jordan. I'm only going over home.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun