Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenikmatan Seks Itu (Bukan) Tabu

6 November 2019   07:49 Diperbarui: 6 November 2019   22:47 20709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bagian terluar relief di kuil Khajuraho, India, yang menunjukkan berbagai bentuk persetubuhan. | Sumber Foto: Unsplash by Utkarsh Singh

Sampai sekarang, kalangan Islam masih banyak yang memperdebatkan penegakan hukum qanun di Aceh. Pun dengan para rohaniawan di masa VOC yang menolak  J.P. Coen atas putusan hukuman yang membuat negeri Belanda gempar. 

Dalam wilayah filosofis Islam maupun Kristen, keduanya memandang bahwa kesucian tubuh harus dilepaskan dari keindrawian dengan jalan penahanan diri atas hasrat-hasrat seksual. Dunia idea ditempatkan pada tataran yang adiluhung, surga langit dan ruh adalah absolut nan abadi. Konsekuensinya, keberadaan tubuh kerap dikesampingkan.

Keduanya percaya kalau tubuh (keduniawian) adalah sumber dari segala sumber dosa. Pada tubuh melekat nafsu setan yang bisa menjerumuskan manusia pada perilaku-perilaku kebinatangan.

Tradisi monoteisme dan filsafat rasional-modern punya kecocokan dalam menuhankan dunia idea. Untuk memahami realitas, rasio dipandang sebagai satu-satunya instrumen menuju kebenaran. Akibatnya, lawan-lawannya seperti rasa, hasrat, tubuh, bahkan bumi rentan mengalami objektivikasi.

Ujung-ujungnya, objektivikasi melahirkan represi. Subjek kehilangan eksistensinya. Ketelanjangan tubuh ditabukan dalam aturan-aturan baku bahkan cenderung mengekang. Tubuh dipenjarakan oleh rasio.

Manusia sadar bahwa ia makhluk istimewa. Ketelanjangan tubuhnya tidaklah serupa dengan binatang. Pandangan seperti ini akhirnya melahirkan pemikiran tentang tubuh yang harus diadabkan. Dalam bahasa yang lebih ekstrem, tubuh harus "dikandangkan".

Hewan yang berakal budi ini sedemikian angkuh sampai-sampai memberi nama bagi dirinya sendiri dengan Homo Sapiens--si manusia bijaksana. Semestinya kita sadar, betapa bias penamaan itu. Lantas apakah dengan begitu spesies lainnya tidak bisa dikatakan "bijaksana"? Benarkah Sapiens itu bijaksana?

Tubuh dan Ketelanjangan; Menghayati Hasrat Seks sebagai "Subjek"

Berbicara ketelanjangan, ada cuplikan kisah yang menarik dalam buku (Bukan) Tabu di Nusantara. Pertama, soal kontroversi gambar kartu pos yang menampilkan ketelanjangan tubuh sang Buddha. Kedua, soal eksotisme ketelanjangan tubuh perempuan Bali dan Jawa.

Yang pertama ini kisahnya sangat menggelikan. Persis seperti iklan Shopee yang dulu sempat geger di Indonesia, digugat oleh kelompok Islam fundamentalis hanya karena menampilkan gambar tubuh "terbuka" para personel Blackpink.

Pada tahun 1898 firma H. Bunning mengeluarkan seri kartu pos Yogyakarta, Prambanan, dan Borobudur. Kartu pos yang bergambar patung Buddha Borobudur dikirim ke Belanda sebagai kartu ucapan tahun baru.

Tetapi kartu pos itu harus diberi "pakaian" karena petugas pos di Belanda menganggap ketelanjangan sang Buddha kurang sopan. Kartu pos itu akhirnya dimasukkan ke amplop baru dan si penerima harus mengeluarkan biaya ekstra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun