Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Kita Perlu Berhati-hati Ketika Berpikir Soal "Cultural Appropriation"

19 Agustus 2019   20:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:01 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menemukan artikel di The Guardian yang ditulis Ash Sarkar. Ia menyebut nama Kenneth Coutts-Smith menulis esai pertama perihal gagasan kelas dalam budaya, meski tidak eksplisit menyebutkan istilah "cultural appropriation".

Coutts-Smith menulis esai itu dengan judul "Some General Observations on the Concept of Cultural Colonialism" yang terbit tahun 1976. Menurut Sarkar, Coutts-Smith adalah orang yang menyatukan pemikiran Marxis tentang "class appropriation" (di mana gagasan "high culture" disesuaikan dan didefinisikan oleh kelas sosial dan ekonomi yang dominan) dan "cultural colonialism" (yang menggambarkan cara budaya Barat mengambil kepemilikan bentuk-bentuk seni yang berasal dari orang-orang yang tertindas atau terjajah).

Saya belum tahu pasti, apakah memang konsep apropriasi budaya berangkat dari pemikiran soal perlawanan kelas itu? Bisa jadi.

Ketika saya mencoba berpikir secara objektif, saya memilih memposisikan diri sebagai mayoritas sekaligus minoritas. Rasanya tak adil jika saya ngoceh soal ketidakadilan di tanah Papua, tapi saya sendiri lahir dan menetap di Jawa, berasal dari etnis Jawa, dan menikmati modernitas serta kemudahan hidup di perkotaan Jawa.

Lucunya, jika kita tetap merujuk pada definisi tentang pertentangan mayoritas-minoritas, bukankah ukuran ini sangat relatif? Saya bisa menjadi mayoritas sekaligus minoritas.

Pertama. Posisi saya sebagai mayoritas agak mirip dengan Agnez. Satu-satunya perbedaan hanyalah soal privilese kapital--Agnez adalah bintang besar yang punya power karena mendulang kapital dari industri populer.

Sebagai seorang yang sejak lahir menetap di Jawa, mendengar Papua bagi saya kok terasa "jauh". Seperti saudara jauh. Mungkin karena sejarah di Papua tak pernah jernih dan selalu bias kepentingan.

Juga tak bisa disangkal, rasisme kadang-kadang menular seperti wabah, masih saja ada yang memandang dengan "janggal" hanya karena perbedaan fisiologis orang-orang Papua dari kebanyakan orang Indonesia. Betapa bermasalahnya prasangka rasisme!

Atau masih ada mayoritas memandang Papua dengan kacamata orientalisme Barat, memandang kehidupan mereka sebagai yang "eksotis". Atau memandang budaya tradisional Papua dengan cara pikir modern yang dipenuhi rasionalitas--alam pikir tradisional sangatlah berbeda dengan alam pikir modern. Atau dalam hal "peradaban", orang-orang yang hidup di pulau Jawa selalu merasa lebih canggih dan adiluhung.

Ketika kita (mayoritas) masih suka menggunakan kacamata itu secara sadar atau tidak, bukankah akhirnya nasionalisme kita berubah menjadi cacat? Bukankah nasionalisme kita itu seharusnya tidak rasis? Dan jika merujuk pemikiran Ben Anderson, konsep nasionalisme sungguh berbeda dengan rasisme.

Kedua. Dalam kapasitas identitas kolektif saya sebagai bangsa Indonesia yang pernah terkungkung kolonialisme, tentu saja saya memposisikan diri sebagai minoritas jika dipertentangkan dengan bangsa Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun