Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kenapa Kita Perlu Berhati-hati Ketika Berpikir Soal "Cultural Appropriation"

19 Agustus 2019   20:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:01 1610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari beberapa contoh kasus di atas, setidaknya kita memproyeksikan tumbukan budaya itu terjadi antara mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas mengadopsi budaya minoritas. Itulah yang dipahami orang-orang. Tapi marilah bertanya, apa/siapa itu mayoritas dan minoritas?

Sebagian orang mengasosiasikan "adopsi" itu sebagai bentuk "perampasan". Sebagian lagi lebih suka mengasosiasikannya sebagai hanya "meminjam".

Kadang-kadang, ada yang mengatakan bahwa yang disebut apropriasi budaya itu ketika atribut minoritas digunakan untuk kepentingannya sendiri (mayoritas) dan tidak disertai dengan pemahaman "makna" budaya minoritas.

Ada kalanya definisi apropriasi budaya menambahkan kata-kata di belakangnya seperti, "pengadopsian budaya itu dilakukan 'tanpa permisi'". Seolah-olah memang harus ada upaya izin kepada "si pemilik" budaya. Tapi marilah bertanya, siapakah yang berhak memberi otoritas atas boleh/tidaknya pengadopsian suatu budaya?

Kenyataannya, konsepsi apropriasi budaya masih menjadi perdebatan. Menilik berbagai perspektif atas pemberian definisi itu, tampaklah bahwa kata-kata dilontarkan orang secara "mana-suka" sesuai dengan apa telah yang diyakininya (subjektivitas) dan berpotensi menimbulkan penafsiran yang bias.

Saya pikir, kita perlu berhati-hati ketika menyematkan "apropriasi budaya" pada kasus-kasus tertentu. Kita perlu memeriksa kembali prasangka atau dugaan itu dengan bijak dan--semoga--kritis. Sebab konsepsi "apropriasi budaya" seperti pedang bermata dua. Kedua sisi itu sama-sama bisa "membunuh" jika kita tidak berhati-hati menggunakannya sebagai "alat bedah".

Berusaha Objektif dengan Memahami Konteks Sosio-historis atau Malah Tersulut Emosi dan Menjadi Subjektif?

Tampaknya, alasan paling fundamental adanya konsep "apropriasi budaya" terletak pada relasi kelas yang tak imbang antara mayoritas dan minoritas.

Untuk menghindari cap negatif ini, kelompok mayoritas seyogianya memahami makna dan konteks sosio-historis suatu budaya yang akan diadopsinya sehingga memunculkan relasi imbang atau timbal-balik yang sepadan.

Bekal atas pengetahuan sosio-historis sesungguhnya adalah upaya mencegah luka dan trauma kelompok minoritas--seperti penindasan dan genosida di masa lampau--yang sewaktu-waktu bisa menganga kembali.

Memang, riwayat sejarah kita terlalu rumit untuk sekadar dipahami secara hitam-putih belaka. Kalau menurut Marx, sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Mungkin ini sangat relate dalam pusaran saling-silang dan tarik-menarik antara budaya borjuis dan budaya proletar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun