Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Becermin dari Baiq Nuril dan Fairuz A. Rafiq: Pelecehan Seksual Verbal Itu Bukan Soal Sepele

13 Juli 2019   08:05 Diperbarui: 13 Juli 2019   11:18 2179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: theodysseyonline.com

Akhir-akhir ini sedang hangat pemberitaan atas perkembangan kasus pelecehan seksual yang terjadi pada Baiq Nuril dan Fairuz A. Rafiq. Pada 5 Juli lalu, upaya peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril ditolak MA dan saat ini kuasa hukumnya tengah berjuang mengajukan amnesti kepada presiden Jokowi. Amnesti adalah jalan terakhir bagi Baiq Nuril agar bisa terlepas dari hukuman enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah.

Di pihak lain, pada 11 Juli kemarin, Galih Ginanjar, Rey Utami, dan Pablo Benua ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait istilah "bau ikan asin" yang melecehkan Fairuz, mantan istri Galih. Galih telah mencemarkan nama Fairuz karena menyebut organ intim mantan istrinya itu dengan "ikan asin".

Setidaknya, ada kesamaan dan perbedaan pada dua kasus ini.

Kesamaannya, dua-duanya termasuk dalam kategori pelecehan verbal yang direkam dan disebar melalui media digital.

Perbedaannya, jika Fairuz sebagai korban pelecehan berhasil menjerat pelakunya, sebaliknya Baiq Nuril sebagai korban pelecehan justru dipidanakan. Fairuz bisa mempersenjatai dirinya dengan menggunakan UU ITE, sebaliknya pada Baiq Nuril UU ITE itu malah tumpul kepada pelaku dan menjelma peluru tajam yang menghujam pada Baiq Nuril sebagai korban.

Jangan Anggap Enteng Pelecehan Verbal 
Sadarkah kita? Bahwa pelecehan seksual verbal memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi "bencana" dalam wujud kekerasan fisik?

Kasus yang menimpa Baiq Nuril dan Fairuz penting sekali dijadikan pembelajaran bahwa pelecehan seksual berbentuk verbal itu nyata adanya. Memang, keuntungan hidup di zaman teknologi modern ini memudahkan korban mengantongi bukti fisik, entah itu audio maupun video. 

Bisa dibayangkan kalau kasus semacam ini terjadi pada era pra-teknologi modern, bagaimana peliknya menunjukkan bukti konkret kepada penegak hukum?

Saya kira ada dua penyebab kenapa pelecehan verbal selama ini dianggap remeh. Pertama, ketidakmampuan menghadirkan bukti konkret. Kedua, kuasa patriarki yang mengakar kuat dalam sendi-sendi kehidupan kita. Dua hal ini saling berkelindan dan saling merestui. Juga dijadikan pembenaran laki-laki yang tak mau status quo-nya terusik.

Sejak dua kasus ini mencuat ke publik, kita harus menyadari bahwa pelecehan verbal itu bukan sesuatu yang mengada-ada. Baik pelecehan fisik maupun non-fisik sama-sama berbahaya.

Kasus semacam ini bukan lagi soal lempar-melempar rasa sakit hati atau upaya balas dendam antara pelaku dan korban sehingga menimbulkan pencemaran nama baik. 

Ini adalah soal ketidakseimbangan relasi gender yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual belaka plus dilanggengkan oleh hegemoni dogma dan mitos. Laki-laki berdiri sebagai yang superior, yang merasa berhak menguasai bahkan mengontrol tubuh perempuan.

Sayangnya, masyarakat kita masih menganggap candaan-candaan bernada seksual adalah sesuatu yang lazim, bahkan dijadikan alat pembuktian "kejantanan" seorang laki-laki karena berhasil "melumpuhkan" perempuan.

Saya seorang perempuan dan saya pernah mengalami catcalling. Anda tahu kan istilah catcalling? Ini juga termasuk pelecehan seksual sebenarnya. Karena saking seringnya catcalling itu terjadi di mana pun dan kapan pun, dilakukan oleh banyak sekali laki-laki, dan dibiarkan oleh perempuan sebab tak punya kuasa untuk melawan, jadilah catcalling itu membudaya.

Baiklah, jika catcalling itu perbuatan sepele, kenyataannya hampir seluruh populasi perempuan di muka bumi ini tidak pernah merasa senang dan nyaman terhadapnya. 

Kayaknya kalau dilakukan survei, paling enggak di Indonesia, saya kira mayoritas perempuan akan menjawab 'pernah mengalami catcalling' dengan takaran pelecehan yang berbeda-beda. Entah itu terjadi pada perempuan berpakaian terbuka ataupun tertutup. Entah itu pelakunya laki-laki dewasa ataupun remaja.

Perbuatan remeh seperti siulan-siulan ini mengganggu sekali dan bukan sesuatu yang lucu. Jelas, perempuan berhak "marah". Tapi kalau soal catcalling di jalanan, paling banter perempuan hanya bisa sabar menahan lonjakan amarahnya. Kalau melawan, kadang-kadang bisa berab urusannya. Begitulah kenyataannya.

Tak heran jika berkaca pada kasus yang dialami Fairuz, ada saja orang-orang yang turut menertawakan "bau ikan asin" dengan dalih semata-mata lucu--terutama sebelum kasus ini dilaporkan Fairuz dan mencuat di publik--dan merasa tidak ada yang keliru dengan ini. Mungkin orang macam ini memang terbiasa melakukan atau menerima catcalling.

Tak heran pula ada orang-orang yang melihat istilah "ikan asin" dari cangkangnya saja dan melupakan--atau pura-pura lupa--terhadap makna yang berkonotasi melecehkan itu. Terlepas dari bumbu sensasionalitas dan gosip murahan hanya karena sepasang mantan suami-istri itu bertitel selebriti, kita harus mendukung Fairuz karena ia sudah berani bersuara.

Lalu, bagaimana dengan Baiq Nuril?

Momentum untuk Memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Perlindungan terhadap perempuan dari berbagai bentuk kekerasan seksual sangatlah lemah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, hanya memandang pelecehan seksual sebagai tindakan yang melibatkan kontak fisik. Padahal, bentuk pelecehan seksual itu beragam.

Dari penanganan terhadap kasus Fairuz dan Baiq Nuril ini, publik harus menangkap sinyal-sinyal yang bermasalah dan mentransmisikannya menuju keadilan gender. 

Dilansir dari kompas.com, menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, saat ini sistem hukum di Indonesia belum ada yang mampu memayungi kasus semacam pelecehan non-fisik. Ujung-ujungnya, malah lari ke UU ITE dan pelaku bisa lolos dari jerat hukum seperti yang dialami Baiq Nuril.

Karena menggunakan UU ITE ini, penegak hukum hanya berputar-putar di lingkaran terluar, hanya bergumul tentang "siapa yang merekam atau menyebarkan konten". 

Padahal substansinya sudah terang-benderang, yaitu pelecehan seksual. Kenyataan seperti ini membuktikan bahwa penegak hukum gagal mengedepankan substansi yang pokok itu, gagal melindungi korban kekerasan seksual.

Fairuz bernasib baik karena jelas mantan suami dan dua kawannya itu terlibat dalam skema produksi dan penyebar-luasan konten video dengan tujuan konsumsi publik di YouTube. Tapi Baiq Nuril belum bernasib baik, dianggap bersalah karena merekam suara si pelaku melalui telepon. 

Padahal apa yang sudah dilakukan Baiq Nuril itu merupakan langkah perlawanan yang progresif; apa yang direkamnya itu adalah barang bukti dan bukan sengaja dibuat dengan tujuan konsumsi publik.

Apa yang dialami Baiq Nuril dan Fairuz seharusnya menjadi peringatan keras agar pemerintah mengkaji kembali produk hukum di Indonesia yang benar-benar ramah gender. Udah mah UU ITE itu pasal karet, tetap dipakai pula untuk menangani kasus kekerasan seksual yang pelik dan berlapis.

Kasus semacam ini juga harus jadi momentum bagi Komnas Perempuan dan para aktivis perempuan agar jangan pernah lelah dan terus mendesak pengesahan RUU-PKS. Kenapa RUU-PKS? Karena RUU ini sangat jelas memuat berbagai jenis tindak kekerasan seksual serta mengedepankan dan melindungi korban.

Yah, rasanya saya tak perlu bertele-tele menyebutkan kembali pasal-pasal RUU-PKS itu, saya berprasangka baik saja kalau Anda sudah "akrab dan bosan" mendengar ihwal ini sepaket dengan hiruk-pikuk pertentangan dan penolakan dari kelompok konsevatif.

Ya, kalau saya sih termasuk orang yang tetap berharap RUU-PKS ini bisa disahkan di kemudian hari, meski entah kapan itu terjadi, harus menunggu dan berjuang dalam penantian panjang.

Eh, tapi jangan terlalu larut dalam penantian panjang itu. Sebab yang di depan mata saat ini adalah memberi dukungan amnesti untuk Baiq Nuril, jalan terakhir bagi Baiq Nuril untuk menuntut keadilan.

Kalau menurut Kompasianer, bagaimana?

Salam~~

Referensi:
"Istilah "Ikan Asin" dan Pelecehan Verbal terhadap Perempuan...", kompas.com.
"Dari Kasus "Ikan Asin" Galih Ginanjar, Komnas Perempuan Desak Pengesahan RUU PKS", kompas.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun