Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Buku dan Televisi, Dua Tembok Pembatas Antara Saya dan Ibu

21 Mei 2019   05:54 Diperbarui: 21 Mei 2019   12:16 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: lithub.com

Meski berbeda konteks dan pengalaman, sebagai pembaca saya menangkap kesedihan pada diri Minke. Dalam bagian cerita itu, Minke untuk pertama kalinya merasakan jarak terhadap sesama pribumi. Minke menyadari, dirinya seorang terpelajar yang menyembul di antara belukar eksklusivisme pengetahuan. Betapa tak mudahnya ia menyeberangi jembatan untuk membangun komunikasi pada para pribumi yang tak berpendidikan Eropa, termasuk pada keluarganya sendiri yang masih berputar dalam alam pikir feodalisme.

Maka, ya, ada benarnya. Berbahagialah dia yang tak tahu sesuatu. "Berbahagia" di sini bermakna dalam tanda kutip. Kata yang mengandung ironi pada dirinya sendiri. Pengetahuan, yang dielu-elukan manusia itu, tak ubahnya seperti bunga mawar yang berduri. Orang-orang yang berpengetahuan bisa kapan saja terjebak tak berdaya dalam dunia serba dikotomis ini.

Tampaknya mudah jika kita berkoar-koar kepada orang lain agar melek literasi. Menularkan pengetahuan tanpa menyisakan rasa penghakiman. Tapi kepada orang yang paling dekat? Apalagi jika ia sudah menua, lebih memilih jalan hidup yang menutup diri dari pengetahuan rasio karena merasa rumit dan tak lagi dibutuhkan di usianya.

Setiap malam saya bergumul dengan buku, laptop, dan internet. Sementara di ruangan yang lain, Ibu masih setia dengan televisi yang menayangkan sinetron dan pertunjukan humor yang tak lagi memberi efek humor bagi saya, bahkan Ibu sendiri tak pernah benar-benar serius menontonnya hingga tertawa. 

Televisi adalah satu-satunya benda yang memberinya hiburan sekaligus sebagai secuil asupan pengetahuan tentang dunia luar. Tak ada smartphone yang terhubung dengan internet, baginya benda ini sangat ribet dan merepotkan.

Betapa buku dan televisi merentangkan dunia yang sangat jauh antara saya dan Ibu.

Saya tahu, Ibu seperti kesulitan memahami isi kepala saya. Sulit memahami kenapa saya lebih suka membelanjakan uang untuk membeli buku daripada benda-benda sandang.

Tapi mungkin, saya masih sedikit beruntung. Saya masih bisa menikmati makan atau memasak bersama Ibu sambil sesekali berkeluh-kesah tentang pekerjaan saya atau bercerita tentang segelintir pengalaman unik yang pernah saya alami.

Maka bukan tanpa alasan jika saya sempilkan potongan ayat tentang Adam dan Hawa itu pada lembar persembahan skripsi. 

Bukan bermaksud melebih-lebihkan, saya menganggap skripsi itu sebagai simbol akhir sekaligus awal dari perjalanan saya mengarungi rimba pengetahuan. Jika tafsir tentang problem pengetahuan itu dibantah oleh penafsir lain, saya kira saya masih terpikat pada alegori versi ini tanpa bermaksud menunggalkan penafsiran.

Dalam lembar persembahan itu pula, di pojok kanan bawah saya bubuhkan sepotong kalimat manis: Untuk kedua orangtuaku, yang mempercayai anaknya berkuliah di Sastra.

Akhirnya, dengan sedih saya mencintai pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun