Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Sukmawati Menista Agama? Atau Hanya Satire Belaka?

19 November 2019   20:47 Diperbarui: 19 November 2019   21:05 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam Balai Seni Rupa terpampang sebuah lukisan Adam dan Eva

Seorang Inggris sesudah menyaksikan lukisan itu berkata: "Mereka tentu orang Inggris, pria dewasa asalkan memiliki makanan yang enak biasanya selalu suka berbagi dengan wanita dewasa."

Seorang Prancis berkata: "Mereka tentu orang Prancis, sepasang kekasih dengan santai berjalan-jalan dalam posisi bugil."

Seorang Soviet pun berkata: "Mereka tentu orang Soviet, sudah tak memiliki pakaian dan hidup kekurangan, tetapi masih menganggap dirinya berada di surga!"

Saya dulu penyuka cerita humor yang berjudul "Mati Ketawa Ala Rusia", bagi anda yang pernah membaca cerita humor tersebut pasti paham bahwa humor yang diceritakan bukanlah humor slapstick yang mudah dicerna, melainkan humor satire yang berat untuk sebagian orang.

Atau sebuah cerita singkat ala Abu Nawas:

Konon, sebelum meninggal ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh.

Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama."

Saya membayangkan jika satir seperti  ini di terjemahkan oleh pasukan warganet +62 di 2019 dengan sangat sensitif. 

Kira-kira responnya begini: Abu Nawas menghina Malaikat! Abu Nawas menista agama! Malaikat dianggap tidak melihat Abu Nawas di dalam kubur yang artinya sama saja menghina kemampuan Malaikat!.

Nah, satir bahagia berbalut sindiran cerdas sudah tak dimaknai lagi dengan pikiran, tapi dengan emosi semata. 

Hal yang sebetulnya terjadi juga di era cerita Abu Nawas dimana cerita Abu Nawas masuk kedalam kumpulan cerita dongeng Alfu Lailatin wa Lailah atau terkenal dengan dongeng Seribu Satu Malam yang banyak bercerita tentang latar belakang kehidupan di Persia dan India baik sebelum masuknya Islam maupun di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid, dongeng tersebut lalu dialihbahasakan ke bahasa Arab pada abad ke-3 hijriah.

Yang namanya dongeng, ya dongeng, tidak ada fakta disitu, sehingga dongeng Seribu Satu Malam oleh para ulama dianggap buku sesat, oleh Ibnu Nadim dalam Al-Fahrosat dianggap buku yang penuh kedunguan dan kejelekan. 

Beberapa ulama bahkan men-tahdzir (memperingati) buku tersebut dan melarang (haram) umat untuk membacanya.

Barulah awal abad ke-18 dongeng Seribu Satu Malam berkembang pesat. Dan salah satu yang diyakini oleh para ahli sastra adalah cerita Seribu Satu Malam banyak menyindir Pemerintahan pada masa itu sehingga muncul pelarangan bahkan pembredelan. Seperti cerita Abu Nawas yang kerap menyindir sifat Khalifah Harun Al-Rasyid sebagai raja.

Bagaimanapun sindiran satir di dalam dongeng ala Aladdin atau Abu Nawas tidak bisa diterima semua pihak. Begitupun humor Rusia.

Jika humor Rusia diatas di artikan secara harfiah, maka humor tersebut tentu menyinggung orang Kristen atau Islam, karena Adam dan Eva (Hawa dalam versi Arab) adalah manusia pertama sekaligus Nabi pertama. Mengapa menyamakan Nabi Adam dengan orang Soviet?

Nabi Adam yang mulia tidak layak disandingkan dengan orang Soviet yang non Muslim, apalagi menyamakan sifat Nabi Adam yang di gambarkan sebagai orang yang santai, meskipun miskin tapi tetap merasa di surga. 

Atau gambaran versi Perancis yang tak lain bahwa Nabi Adam suka berjalan-jalan dengan wanita tanpa busana (zina = penistaan).

Tapi apakah hingga sedemikian interprestasi kita terhadap sesuatu yang berbau agama?

Padahal jika dicerna baik dalam cerita Seribu Satu Malam maupun humor Rusia, tidak ada satupun yang berbicara dalam konteks agama. Semua adalah sindiran terhadap seseorang / tokoh / partai / sifat bangsa.

Itupun yang terjadi pada Sukmawati Soekarnoputri. Sukmawati berkata bahwa bukan Nabi Muhammad SAW yang berperan dalam kemerdekaan Indonesia di abad ke-20, yang berperan adalah Bung Karno. 

Bagi saya ini biasa saja, satir ala Sukmawati yang ingin berkata bahwa Bung Karno juga layak di hargai, tidak hanya Rasulullah SAW. 

Sukmawati tidak berkata untuk tidak menghormati Nabi Muhammad SAW, tapi semata-mata ingin Bung Karno dihargai sebagai pejuang bangsa, dalam konteks perjuangan kemerdekaan. Bahkan disitu Sukmawati menyebut Rasulullah SAW dengan "yang mulia".

Sukmawati ingin menyindir pihak-pihak yang tidak menghargai pahlawan bangsa seperti Bung Karno, dan memang faktanya ada anak SD yang bahkan tidak tahu Ir. Soekarno itu siapa, miris. 

Mirisnya lagi, beberapa temuan Maarif Institute ada sekolah yang menganggap Pancasila adalah thogut dan musuh Islam. Padahal Pancasila adalah produk Bung Karno dan rekan-rekan pejuang kemerdekaan.

Faktanya memang Nabi Muhammad SAW sudah tiada ketika Indonesia dijajah. Karena hal itu tentu saja tidak berdampak langsung pada perjuangan rakyat Indonesia. 

Dampak yang dihadirkan oleh Rasulullah SAW adalah semangat perjuangan umat muslim ketika menegakkan agama Islam di zaman Rasul, yaitu pekikan takbir yang diteriakkan oleh Bung Tomo pada Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) seperti yang ditulis di buku Menembus Kabut Gelap.

"Sebab kekuatan siapa lagi yang akan kita andalkan, sedangkan senjata tidak lengkap. Lawan kita pasukan Inggris sudah siap siaga memusatkan panser-panser dan kapal-kapal perangnya. Kecuali semangat patriotism, saya kira tidak lain kekuatan kita hanya perlindungan Allah. Perlindungan Allah itu hanya bisa terjadi kalau kita menyadari bahwa Allah itu Mahakuasa. Untuk menunjukan Allah itu Mahakuasa saya kira perlu diresapkan makna ucapan yang selalu menggetarkan jiwa manusia, baik pada waktu perang maupun waktu mendengar seruan azan, Allahu Akbar," tulis Bung Tomo.

Disitulah semangat perjuangan kaum muslim bergelora, bahkan yang non-muslim pun ikut tergetar hatinya. Ya, dalam konteks mengobarkan semangat perjuangan. Sedangkan perjuangan politik dan anti-kolonial mau tidak mau kita harus menghormati bung Karno.

Jadi perbandingan yang dibawa oleh Sukmawati antara Rasulullah SAW dengan Bung Karno, Thomas Alfa Edison dll adalah sindiran semata, satir. Tapi ya itu, sejak zaman Abu Nawas selalu ada orang yang gagal mengartikan satir, mengartikan sindiran itu sendiri justru sebagai hinaan. 

Entah, selera kita yang "ketinggian" dalam mengartikan satir, atau memang bukan tempatnya satir di Indonesia..ah sudahlah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun