Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Inikah di Balik Terdepaknya Jonan dan Archandra dalam Kabinet Jokowi?

23 Oktober 2019   14:13 Diperbarui: 23 Oktober 2019   19:52 23737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri ESDM Ignasius Jonan bersama jajaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas, Jakarta (7/4/2017). Jonan didampingi Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar dan Tenaga Ahli Komunikasi Indira Soediro.(Kompas.com/Wisnu Nugroho)

Saya terkaget-kaget ketika membaca sebuah artikel Headline di Kompasiana yang menulis bahwa kebijakan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan wakilnya Archandra Tahar membahayakan negara, terutama skema baru production sharing contract (PSC) dari cost recovery menjadi gross split.

Dikatakan bahwa skema gross split justru amat merugikan negara, negara dianggap sengaja berlepas tangan terhadap pemain bisnis migas tanpa kendali. Benarkah demikian?

Gross split adalah skema pembagian hasil produksi dengan pembagian prosentase dilakukan di depan sebelum perhitungan laba, beda dengan cost recovery di mana pengeluaran kontraktor migas ketika eksplorasi (studi-konstruksi-eksplorasi) di klaim ke Negara.

Kedua-duanya sama-sama menggunakan model kontrak kerja, di mana Pemerintah tetap memiliki kuasa penuh untuk mengatur para kontraktor migas.

Dengan begitu skema gross split lebih mengamankan pemerintah dari sisi laba sebab pemerintah sudah tidak ambil pusing dengan segala pengeluaran yang dilakukan oleh kontraktor migas selama masa eksplorasi, tidak ada lagi biaya ini itu yang kemudian bisa di charge sebagai pengembalian biaya seperti era cost recovery.

Disinilah peran skema gross split untuk memangkas alur korupsi di tubuh besar Industri Minyak dan Gas, otomatis hilang sudah pandangan masyarakat bahwa SKK Migas mempermainkan biaya operasional, tidak ada lagi uang negara bermain disitu. 

Tinggal bagaimana pemerintah memberikan insentif yang pas kepada para kontraktor migas (KKKS) jika menemukan medan eksplorasi yang sulit, karena umum bahwa kontraktor migas akan selalu rugi di awal. 

Di sinilah timbul ide insentif dan penyesuaian pajak seperti pada Permen ESDM Nomor 8 tahun 2017 yang diperbaiki Permen ESDM Nomor 52 tahun 2017. Khusus untuk pajak ada Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2017. 

Intinya dengan adanya perbaikan Permen ESDM dan PP No 53 ini diharap skema gross split dan cost recovery persentase perbedaannya tidak terlalu jauh, namun lebih akuntabel dan transparan.

Jadi di mana letak skema gross split ini membahayakan negara?

Sangat absurd jika dikatakan skema ini ingin menggembosi kendali negara atas migas. Negara tetap sebagai pengendali dan penguasa kontrak kerjasama, itu cukup.

Saya pernah bekerja di kontraktor konstruksi migas. Saya melihat sendiri bagaimana perusahaan kontraktor asing selalu mengajukan klaim pekerjaan tambah ke KKKS karena jumlah kertas yang digunakan sebagai print out desain engineering bertambah. Kami maklum jika kontrak perusahaan tersebut adalah Detail Engineering Design.

Tapi masalahnya jumlah kertas tambahan tadi akan diklaim pula oleh KKKS ke Negara sebagai bagian dari cost recovery.

Pertanyaannya, apakah betul jumlah kertas tambahan tadi memang murni digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan? Bukan bagian dari sebuah "permainan"?

Misalnya, jika KKKS meminta gambar pensil, yang dinamakan pensil terdiri dari satu batang pensil, tidak perlu satu gambar tersebut di bagi menjadi 5 gambar, ada pensil belakang, ada pensil depan dll, sangat tidak efisien. Cukup satu gambar. Kecuali yang diminta pensil, penghapus dan laptop, bolehlah gambar tersebut di bagi-bagi.

Sebagai anak negeri, sedih saya melihat itu, Negara harus membayar "ganti-rugi" perusahaan asing atas hal yang sebetulnya bisa lebih efisien. Ini baru contoh kecil, belum lagi contoh besar yang intinya skema cost recovery membuka ruang yang besar bagi KKKS dan Negara untuk "bernegosiasi".

Di sinilah skema gross split mempersempit ruang gerak para koruptor dan mafia. Semua sudah di atur di awal, jika ada efisiensi maka menjadi hak dari KKKS. KKKS tidak bisa lagi seenaknya buang-buang duit, mentang-mentang duit nanti diganti Negara lantas bisa seenaknya. 

Sebaliknya, jika terjadi over dari yang disepakati, negara tetap membuka ruang insentif sebagai perhitungan prosentase akhir (menambah split/bagian). Di mana prosentase akhir di pengaruhi oleh faktor kondisi lapangan, yang mana menurut A. Rinto Pudyantoro (praktisi Migas) kondisi lapangan dipengaruhi oleh: status block, lokasi lapangan, kedalaman reservoir, kondisi infrastruktur, kondisi reservoir, kandungan CO2 dan H2S, API, serta kandungan lokal dalam pengadaan dan tahapan produksi itu sendiri.

Yang sedang dilakukan perbaikan saat ini adalah bagaimana gross split melindungi investor ketika harga minyak rendah dan memperbesar bagian pemerintah ketika harga minyak sedang tinggi. Jadi absurd, jika dikatakan, skema gross split hanya untuk jangka pendek.

Di sinilah kadang kita gagap melihat perubahan, cara kerja yang lebih efektif dan efisien, memangkas alur-alur birokrasi yang berbelit dan menutup pintu ruang korupsi. 

Hal ini justru dianggap sebagai biang kekacauan. Bahkan dituduh sebagai skema yang membahayakan negara.

Karena itu saya bertanya, apa iya ini yang membuat Jonan dan Archandra tidak dipanggil oleh Presiden Jokowi untuk kembali jadi Menteri?

Sepak terjang Jonan cukup memukau, Jonan berhasil membawa revolusi industri Kereta Api yang memanusiakan manusia setelah sekian lama manusia Indonesia disamakan dengan kambing di dalam gerbong kereta ekonomi yang kotor. 

Pun begitu ketika memimpin "kerajaan" ESDM. Jonan mampu mengguncang panggung ESDM dengan divestasi saham Freeport, pengambilalihan blok Rokan dari Chevron dengan skema gross split sekaligus memberikannya ke Pertamina.

Dengan kata lain, kedaulatan energi perlahan kembali ke NKRI. Dan karena itulah salah satu alasan saya untuk mendukung kuat pak Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.

Pun demikian dengan Archandra, beliau adalah tokoh minyak dan gas yang sepak terjangnya memukau pak Jokowi, bahkan terkesan dipaksakan ketika beliau ternyata masih memiliki passport Amerika. Ide gross split adalah dari dirinya. 

Beliau berani menggedor tirani sampai membuat beberapa ekonom mencak-mencak. Di situ saya yakin pak Jokowi sangat menghargai orang-orang pintar (dan berani) seperti ini.

Entah ada apa sehingga Jonan dan Archandra justru lengser dari jabatannya. Apakah karena semata-mata akibat target pajak ESDM yang tidak tercapai? Atau karena banyaknya "setan" yang marah karena tertutupnya lubang-lubang korupsi?

Ah entahlah, bisnis mutiara hitam ini memang sehitam warnanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun