Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Shanghai, Struk Taksi, dan Hamdalah

24 Desember 2018   10:34 Diperbarui: 24 Desember 2018   23:07 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://cina.panduanwisata.id

Pengalaman yang nyaris pahit saya rasakan ketika bertugas ke Tiongkok, hari terakhir saya mampir di kota metropolitan, Shanghai. Pergi ke sana selama 3 hari untuk urusan pekerjaan. Segalanya lancar jaya dari keberangkatan hingga pagi hari menjelang kepulangan saya kembali ke Jakarta.

Minggu pagi, jam 6 waktu Shanghai. Selepas sarapan di Cental Hotel dengan menu halal (setelah semalam saya order halal food via restoran Hong Changxing di Guangxi Road, satu dari banyaknya restoran halal di Shanghai), saya pun memanggil taksi yang sepertinya selalu standby di depan Hotel.

Oya, Central Hotel ini dekat sekali dengan Nanjing Road dan Wu Jiang Road, jalanan tempat utama orang membeli oleh-oleh atau berfoto karena tempatnya yang instagramable

 Bagi yang muslim, hotel ini pun dekat dengan Fuyou Road Mosque atau populer disebut juga North Mosque, tempat saya sholat Jumat dengan nyaman di sini. Lebih ke selatan, ada Xiao Taoyuan Mosque, lebih besar lagi.


Hal sepertinya baik-baik saja ketika saya naik taksi, sang supir sudah cukup berumur, sekitar 50 tahunan. Orangnya baik, bertubuh kurus, suka tersenyum meskipun tentunya, tak bisa bahasa Inggris. 

Perjalanan dan Hotel ke Bandara Pu Dong sekitar 70 menit. Jalanan tol di sana sangat lancar, panjang, mulus, lebar. Konon bangsa yang besar selalu membangun infrastruktur jalan dengan sangat baik. Transportasi adalah utama.

Flight saya jam 9.00 pagi waktu Shanghai dengan Garuda Indonesia, saya tiba di bandara pukul 7 pagi. Masih cukup waktu untuk saya keliling bandara dan membeli oleh-oleh, pikir saya.

Ketika tiba, saya turun dari taksi seperti biasa. Pintu taksi pun saya tutup dan si supir tua tersebut melajukan taksinya menjauh. Persis ketika taksi tersebut hilang dari pandangan, saya refleks merogoh saku kiri jaket di mana saya meletakkan passport. Dan...tidak ada! Ya passport saya mendadak hilang, saya pun panik dan mencari di seluruh kantong dan tas saya, tidak ada!

Detik itupun saya sadar bahwa passport saya terjatuh di taksi. Panik dan pucat menggerayangi saya. Saya kemudian secepat kilat melapor ke petugas yang ada di dekat sana, dengan maksud agar mereka menyetop taksi tadi sebelum keluar bandara.

Dengan bahasa Inggris saya menjelaskan ke mereka, and you know what, tidak ada satupun dari mereka yang ngerti saya ngomong apa!!

Saya semakin panik namun tetap berusaha tenang. Saya masuk ke bandara dan melapor lagi ke petugas body screening di pintu depan bandara. Ternyata sama saja, mereka tak paham bahasa Inggris. Hancur minaah!!

Saya bingung dan akhirnya bertanya di mana kantor kepolisian. Luar biasa, mereka bengong!! Padahal saya rasa kata-kata Police Station cukup untuk menjelaskan bahwa saya cari kantor polisi.

Pertolongan pun tiba, di belakang saya muncul wanita dengan bahasa Inggris fasih menjelaskan apa yang saya  maksud ke para petugas yang berjaga di sekitar body screening. Mereka pun tergopoh-gopoh menunjukkan letak kantor polisi di dalam bandara (ternyata ada!). Jika di Indonesia, melapornya ke AVSEC ya, ada di tiap terminal bandara.

Saya pun segera berlari ke arah yang dimaksud. Jika dari pintu turun taksi, setelah body screening awal, langsung belok kiri, mentok ketemu lorong yang mengarah ke kiri, ikuti jalur. Turun satu lantai, putar balik ke belakang, letaknya di sebelah kiri. Mudah kok. Jika anda berlari, tak sampai 5 menit sudah sampai. 

Sampai di kantor polisi, saya menjelaskan (lagi-lagi) dengan susah payah bahwa passport saya ketinggalan di taksi. Lumayan makan waktu dan melelahkan, hampir 20 menit waktu habis untuk menjelaskan karena keterbatasan bahasa.

Mareka baru "ngeh" setelah saya translate bahasa Inggris ke bahasa Mandarin via google translate, thanks mbah!!

Saya minta diperlihatkan CCTV untuk melihat plat nomor taksi. Sialnya, CCTV baru dibuka pukul 9.00 pagi. Saya jelaskan bahwa pesawat saya jam 9.00 pagi, tak cukup waktu, tapi mereka sangat taat aturan.

Waktu menunjukkan pukul 7.50, dan saya masih coba ngotot minta jalan keluar, sambil saya menelpon istri dan staff kantor yang mengurus dinas saya. Jawaban keduanya sama, kantor kedutaan Tiongkok di Jakarta, tutup. Begitupula kedutaan Indonesia di Shanghai, tutup.

Ya iyalah, hari Minggu. Pihak maskapai tidak bisa membantu hingga ke ranah itu. Terbayang saya harus menginap lagi sehari di situ, kali ini bukan di hotel tapi di losmen, karena dana sudah pas-pasan. 

Sampai akhirnya saya teringat struk taksi yang saya simpan. Entah angin apa yang membuat saya menyimpan struk ini, padahal biasanya minta struk taksi aja hampir tidak pernah.

Tergopoh-gopoh saya serahkan struk tadi ke petugas polisi yang sedari tadi mengurusi saya, dan dia kaget ternyata saya menyimpan struk taksi. Mereka memeriksa struk dengan seksama. Dari struk, mereka gerak cepat, terlihat mereka bisa mendeteksi semuanya.

Tak sampai  semenit, sang kepala opsir Polisi mendatangi saya dan mengatakan (via google translate, yaiyalah) bahwa supir taksi sudah di telpon dan segera kembali ke Bandara. Cepat sekali.

Melacak taksi via struk memang biasa, tapi kecepatannya yang menawan. Mengapa? Ternyata semua moda transportasi sudah terintegrasi di Tiongkok, tidak ada satupun supir ilegal yang bisa seenaknya ngangkut penumpang.

Ada memang yang biasa menawarkan tumpangan, tapi itupun bisa terdeteksi. Daripada ikut tumpangan, lebih enak malah memakai taksi online, DIDI Taxi, yang sudah beroperasi dari 2006.

Terutama di Shanghai, kota metropolis. Sampai urusan air minum pun bisa dilacak polisi. Selama ada data dan bukti yang kita pegang.

Di Tiongkok, untuk rakyatnya sendiri semua sudah terintegrasi untuk pembayaran, via WeChat, juga untuk bayar taksi. Untuk itu mereka tak perlu struk, cukup tunjukkan bukti di ponsel. Itulah kenapa pak polisi kaget karena saya masih menyimpan stuk taksi, karena mereka tak pernah lagi memegang struk, cukup bukti di ponsel.

Ya, di Shanghai saya bagai orang udik, saya jadi satu-satunya manusia yang membayar KFC dengan cash.

Tak terkira leganya saya, antara kagum dengan kecanggihan sistem di Tiongkok sekaligus sebal karena sistem sudah secanggih itu tapi bahasa Inggris belum bisa. 

Tapi ya kembali semua memang salah saya. Pelajaran penting, jangan buang struk taksi anda di manapun, terutama di luar negeri, selalu simpan bukti-bukti pembayaran. Di negara maju, Polisi bisa dengan cepat melacak apapun yang anda keluhkan, semua sistem online.

Pukul 8.20 sang bapak supir tua terlihat di depan kantor polisi dengan membawa passport saya yang bersampul hitam. Saya ucapkan terima kasih dengan menunduk, plus 10 RMB untuk tanda lelah beliau balik lagi. Beliau menunduk balik ke saya sambil mengucap "Alhamdulillah".

Kaget mendengar beliau mengucap Hamdalah, saya lantas mengeluarkan ponsel dan mengetik di google translate: "Sebagai muslim apakah anda bahagia disini?"

Beliau mengetik balik: "Sangat bahagia"

***

Ditulis juga di: www.ryokusumo.com

Foto-foto Shanghai, silahkan enjoy di instagram di bawah, sekalian mencoba fitur instagram embed di Kompasiana :)





HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun