Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menerka Suara Jokowi 2019

2 Juli 2018   19:36 Diperbarui: 3 Juli 2018   07:40 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://minangkabaunews.com

Bisa dibilang, ranah politik di Indonesia itu adalah ranah politik paling menarik dan paling seru di dunia, paling dinamis dan paling panas. Tidak ada yang pernah ketebak kemana arah politik seseorang/partai sampai hari H.

Seperti yang kita tahu, poling dimanapun juga, dari tukang kopi pinggiran hingga restoran sekelas Duck King saat ini nyaris semua mengungulkan Joko Widodo untuk melanjutkan tugasnya sebagai Presiden ke-8 pas Pemilu 2019 nanti.

Memang tidak mengherankan karena gebrakan populis nan politis Jokowi mampu menjawab keluh kesah rakyat.

Tidak ada tindakan Presiden dimanapun di dunia yang tidak politis, itu yang pertama. Yang penting, apakah tindakan itu bisa memajukan bangsa di tahun-tahun mendatang, dan apakah menjawab keinginan sebagian besar rakyat? Itu yang terpenting.

Dan kalau melihat peta suara Jokowi, Jokowi mampu dengan gigih menjawab hal-hal itu semua, meskipun tidak sempurna, dengan 'darah' disana-sini.

Kepopuleran Joko Widodo sayangnya tidak didukung dengan baik oleh partai pengusungnya, PDIP. PDIP terlihat terseok-seok mengikuti konstelasi Pilkada 2018 serentak. Entah kalkulasi apa yang di pakai oleh ahli strategi PDIP.

Contoh pertama di Jawa Barat. Dari poling-poling yang sudah dilakukan dari 6 bulan belakangan, suara Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul, Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dan Sudrahat-Syaikhu selalu menempati 3 besar, dan calon dari PDIP, TB Hasanuddin-Anton Charliyan selalu nomor buncit. Disini PDIP terkesan memaksakan TB Hasanuddin-Anton Charliyan untuk tetap bertarung.

Padahal Anton Charliyan adalah orang 'bermasalah' ketika menjabat Polda Jabar, lagi-lagi karena kasus SARA dengan kelompok mayoritas Islam. Apakah strategi banteng hanyalah ketakutan bahwa Ridwan Kamil adalah susupan PKS? Ini yang menarik untuk dibahas nanti.

Hanya saja, Jika PDIP full suara ke Ridwan Kamil-UU dimana mayoritas pendukung pasangan ini adalah partai pendukung pemerintah, maka PDIP lebih terlihat wah, terlihat solid. Tapi tidak terjadi, ada apa ini?

Kedua, adalah mencalonkan Djarot di Sumatera Utara, Djarot tidak punya suara di Sumut, setidaknya popularitasnya kecil sekali di banding Edy Rachmayadi. Djarot keok sudah diprediksi sebelumnya.

PDIP punya Maruarar Sirait yang secara kesukuan lebih diterima di Medan khususnya. Lagi-lagi PDIP bermanuver. Dan mengapa Golkar dan Nasdem ada di posisi Edy?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun