Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Surat Terbuka untuk Para Pengusaha dan Supir Taksi

23 Maret 2016   03:05 Diperbarui: 23 Maret 2016   09:42 2145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Taksi lama yaang sudah lebih dulu ditinggalkan pelanggannya. Sumber: Kompas Megapolitan"][/caption]Dengan hormat,

Pada sore itu kebetulan adik dan ibu saya sedang perjalanan menuju rumah dari bandara, tentunya menggunakan taksi  ‘konvensional’ karena saat itu belum zamannya transportasi online. Jalanan yang macet mungkin mengakibatkan sang supir yang sudah suram dari awal semakin suram dan mengerikan, menyetirnya pun ugal-ugalan dan puncaknya adalah menabrak ojek yang sedang membawa penumpang seorang ibu dan balita. Alih-alih meminta maaf karena jelas salah tidak menginjak rem saat tikungan, si supir malah membabi-buta kepada supir ojek. Karena kesal ibu dan adik pun turun dan tidak mau melanjutkan lagi.

Ibu pun langsung membayar sesuai ongkos yang tertera di argo, sekitar Rp 120 ribu, tapi si supir justru meminta 200 ribu sebagai kompensasi bempernya rusak akibat menabrak ojek. Karena si supir berteriak kepada adik dan ibu saya, mereka pun balas meneriaki si supir, namun teriakan diarahkan ke orang banyak yang lalu lalang, akibatnya si supir ramai dihajar oleh warga dan akhirnya ibu dan adik saya pun pulang dengan naik angkot.

Pengalaman mendapatkan supir taksi ‘gila’ pun diceritakan sesampai di  rumah, dan bukan satu dua kali saja kami mendengar cerita seperti itu. Apalagi jika dari bandara, taksi resmi bandara “kelas dua” bukan satu dua kali saja kami ditipu masalah argo, bahkan tak jarang argo ditetapkan ketika membuka pintu. “Mau kemana, Pak?”, “Bintaro.”, “Oh tiga ratus ribu, Pak, macet.” Pintu pun ditutup kembali. Bye!

Yang mulia para bapak ibu pengelola taksi dan juga yang terhormat para supir taksi.

Perlu diulang, bahwa tidak sekali dua kali tiga kali terdapat taksi di Jakarta yang sangat ‘abnormal’, tetapi buanyak, sangat buanyak. Apakah Anda, para pengusaha dan supir taksi terlalu buta untuk membaca suara masyarakat Jakarta?

Jangankan setahun yang lalu, ketika demonstrasi pertama taksi berlangsung, saya rasa sudah cukup beratus-ratus komentar masyarakat yang menjurus langsung (bukan lagi kritik) dari mulai: Taksi yang bau akibat supir sering tidur di dalam mobil, taksi bau rokok, supir yang (sengaja) tidak tahu jalan padahal hanya dari Kampung Rambutan ke Ciputat (itu kan satu rute!! Apalagi itu supir ngetem, artinya memang jalurnya di situ, ditinggal tidur, nyasar ke Pondok Cabe), belum lagi jika bicara argo.

Sudah terlalu gemas, saya dan juga para warga Jakarta lain menghadapi taksi “konvensional”. Tapi kami bisa apa? You are the king. Anda adalah raja, Anda adalah raja jalanan yang tidak tersentuh, untouchable king bagaikan Louis XVI (Anda tahu kan akhir kisahnya). Terserah Anda berapa tarif untuk buka pintu; lima ribu perak, delapan ribu perak atau sepuluh ribu perak pun kami tak bisa apa-apa.

Di tengah ketidak-berdayaan kami, datanglah transportasi online yang membawa angin segar perubahan transportasi di negeri ini. Ide menjemput konsumen tergambar jelas dalam aksinya, bukan hanya cetak biru. Mereka memanfaatkan teknologi kelas kekinian, yang sangat mudah dijangkau oleh masyarakat, semua lapisan, di tengah era revolusi digital: aplikasi online.

Apakah hanya aplikasi online, Bapak/Ibu, Saudara-saudara taksi yang budiman? Rupanya tidak, aplikasi ternyata hanya cara bagi mereka untuk mendekat kepada konsumen, mereka menyertakan semua..sekali lagi, SEMUA yang bertolak belakang dengan apa yang dirasakan ketika menumpang taksi konvensional. SEMUA.

Lho anda enggak percaya? Sudah baca SEMUA media? Sudah baca opini masyarakat? Jangankan dari sisi service, dari mulai awal bertemu konsumen saja sudah beda, anda pasti pernah baca bahwa satu senyum meninggalkan sejuta kesan. Dan itulah, itulah yang telah menyihir kami, para konsumen yang haus akan transportasi yang lebih baik di Ibu Kota. Kami bukan lagi haus, tapi kami sudah MUAK dengan apa yang tersedia di Ibu Kota. Hanya satu kalimat yang membuat kami bertahan: MAU GAK MAU.

Kemuakkan kami,  Bapak-Ibu, ternyata tidak anda manfaatkan untuk memperbaiki diri. Anda terlena dengan hysteria initial public offering (IPO) dengan status Tbk yang mungkin membuat anda berpikir – I am the untouchable- Akulah Sang Tak Tersentuh.

Anda seperti nenek tua kaya yang dikipasi, serasa sejuk tapi lemah tak berdaya, ketika kipas tersebut diambil, Anda keblingsatan kepanasan. Segala cara dilakukan untuk mengambil kipas itu dan Anda baru sadar: oh ternyata kipas itu sudah berubah menjadi AC.

Demonstrasi hari ini sudah membuka mata kami, konsumen. Pihak yang menjadi pilar utama berlangsungnya usaha Anda. Tindakan vandalisme  yang sudah dilakukan seakan menjadi puncak kemuakkan kami. Baru kali ini di sosial media saya hampir tidak melihat ada postingan yang pro dengan taksi konvensional. Padahal sosial media adalah medan tempur bagi para pro dan kontra, apapun itu.

[caption caption="Image courtesy: www.caradvice.com.au"]

[/caption]

Anda para pengelola dan supir taksi konvensional, vandalisme ternyata ditujukan bukan hanya kepada rival anda, tapi juga kawan Anda sendiri. Masih sangat segar di smartphone kami semua, video mobil taksi yang menolak diberhentikan karena tidak mau ikut demo, mobil taksi sampai bergerak liar menabrak apapun yang ada di depannya, demi apa? Demi menolak demo dan mengedepankan penumpang! Dan itu kawan anda sendiri!

Anda, para pengelola taksi yang terhormat, dengan angkuhnya anda membuat statement blunder bahwa itu bukan tanggung jawab pihak perusahaan taksi Anda, dan melempar hanya kepada organisasi paguyuban angkutan. Come ooon..come oonnn..anda masih mengira kita tidur?

Memang di sisi lain pun tidak memungkiri bahwa regulasi dari pemerintah perlu dibentuk ulang, diperjelas dan dipertegas untuk kebaikan semua pihak. Tapi yang nyata dilihat secara lahiriah oleh masyarakat adalah tindakan taksi konvensional yang takut kehilangan pasar, kehilangan pasar tentunya kehilangan pemasukan, dan seperti si nyonya tua kaya yang kehilangan kipas tadi, Anda blingsatan.

Pertanyaannya, pemasukan siapa yang berkurang? Supir? Atukah pengelola? Sudahkah pengelola menyesuaikan setoran wajib dari supir di tengah cobaan ini? Tak perlu dijawab.

Ini yang nyata terlihat, pajak? Itu bisa dibicarakan semua pihak, kalau perlu transparan lakukan meeting terbuka dengan kementerian, agar publik bisa melihat berlangsungnya meeting tersebut. Terbuka, di akhir acara minta publik ikut berpartisipasi untuk memberi polling masukan.  

Pajak dan regulasi adalah alasan tambahan sebagai kedok alasan utamanya; Anda adalah nyonya tua kaya yang kehilangan kipas. Enggan bercermin, olahraga agar sehat, dan membuka wawasan untuk mengganti kipas butut dengan AC.

Membahas pajak dan regulasi adalah hal yang melelahkan bukan? Dan yang paling cepat mengubur pesaing adalah dengan “shot your enemy”. Demonstrasi, vandalisme, merusak, menunjukkan bahwa Anda masih yang terbesar, Anda bisa melumpuhkan Ibu Kota. Tapi sayang, justru armada Anda sendiri yang rusak. Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

Bahkan ketika ditanya oleh media tentang cibiran masyarakat, supir dengan entengnya menjawab terserah, supir taksi dan Anda semua sudah tidak peduli lagi dengan pandangan masyarakat. Masyarakat konsumen yang sejatinya adalah RAJA bagi para pelaku usaha, di manapun itu.

Anda menolak hal yang tak mungkin berubah sepanjang dunia berputar: Perubahan. Anda menolak hal yang (katanya..) mutlak bagi para usahawan, inovasi.  Bukannya anda fokus dalam perubahan, tapi justru bersikap sebaliknya. Yah, pohon beringin pun akan tumbang karena melawan angin, dibanding pohon bambu yang justru meliuk cantik mengikuti angin.

Tapi toh masih banyak waktu untuk improvement, transportasi di Indonesia masih tahap awal. Taksi online pun, kata Rheinald Kasali, jangan senang dulu karena suatu saat pun akan menghadapi hal yang sama.

Saya masih yakin akan taksi konvensional, toh bukan juga sekali dua kali saya pengalaman baik dengan armada taksi konvensional, tapi sering, sudah ada aplikasi online juga lho. Supir yang ramah pun sering dengan segudang ceritanya tentang kehidupan, taksi yang wangi pun cukup banyak. Tapi tantangan di depan menanti. Sudah itu saja. Hadapi. Hitung ulang tarif, efisiensikan dana, nomor satukan para supir dan gapai masyarakat.

Jangan “buruk wajah, kaca dipotong” kata MFU di sosmed, salah seorang pelanggan setia taksi konvensional, yang mulai beralih ke transportasi online.

Setidaknya, besok kita dipuaskan dengan naik taksi warna biru gratis sepanjang hari. Asik!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun