Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kualitas Netizen dan Minat Baca Kita

29 Juni 2019   18:33 Diperbarui: 30 Juni 2019   07:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selain bekerja, beribadah, dan beristirahat, rasanya sebagian besar waktu yang dimiliki manusia era ini banyak dihabiskan di depan layar gawai. Gawai lebih sering kita pegang dan usap daripada kitab suci, handle pintu rumah ibadah, dan tangan pasangan.

Salah satu penyebab gawai menjadi genggaman wajib karena adanya entitas virtual bernama media sosial (medsos). Berbagai macam platform medsos dapat kita pilih sesuai minat dan kebutuhan. Bahkan, niat awal medsos yang muncul karena kebutuhan interaksi sosial, sekarang sudah bergeser dan melebar sampai lingkup bisnis dengan nilai yang tidak main-main.

Karena masifnya konten beragam jenis medsos, pengguna menjadi semakin gandrung untuk menekurinya. Hingga, mayoritas pengguna ialah pengguna multi platform, sebab dirasa satu jenis medsos tidak cukup untuk memuaskan keinginan.

***

Saya rasa kita harus sepakat, medsos sekadar alat yang berposisi netral. Tergantung bagaimana pengguna dapat memaksimalkan potensi yang ada. Yang kemudian menjadi masalah, beberapa pengguna justru menggunakan medsos dengan tidak sebagaimana mestinya.

Seringkali terlihat, pengguna medsos bukannya mengajak berdiskusi namun mencaci, bukan menyapa tapi mencela. Lalu tampaklah tulisan yang dibuat tanpa cita rasa keilmuan yang mencerahkan. Alih-alih menyejukkan, yang ada cuma kata-kata kasar nan menyesakkan.

Sebuah tema dilempar dan sekonyong disambut berpuluh-beratus netizen menyerang dengan kata-kata tak beradab. Jangankan melayani tema, yang diserang justru si pelontar. Lalu muncul logical fallacy berjenis ad hominem. Jelas, yang terjadi bukan diskusi, tapi perundungan. Tak mampu melayani rembukan, maka orangnya yang dihantam.

Padahal, tema yang dilontarkan acapkali tema yang menggairahkan untuk ditanggapi dengan intelektualitas jernih dan nalar yang sehat. Tentu, masih banyak yang mampu mengedapankan logika rasional yang waras. Namun, tidak sedikit yang menangkap tema sepakbola dengan MotoGP, tema pecel ditanggapi sebagai bulgogi, atau tema sandal jepit dengan dasi kupu-kupu. Jangankan nyambung, bersentuhan saja tidak.

Meminjam istilah Sujiwo Tejo, "twit tentang A, ditangkap jadi B, dan diajak debat soal C". Bukan tanpa alasan Mbah Tejo men-twit seperti itu. Karena ia sendiri seringkali menjadi korban keganasan netizen yang entah ikut kursus medsos dimana.

Jika pikiran dan hati sedang cerah ceria, saya mampu menjadikan twit-twit seperti itu sebagai lelucon yang menggembirakan. Tapi jika sedang bunek, sambil menahan hati, saya hanya bisa bergumam: "oh, mengapa mereka begitu Yaa Rabb.."

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun