Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Hidup Bahagia Versi Cak Nun

26 Februari 2018   15:58 Diperbarui: 26 Februari 2018   17:18 4596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: geotimes.co.id

Di tengah zaman yang menggunakan materi sebagai standar utama ukuran kemuliaan, tidak heran rasanya apabila semua orang berlomba-lomba mencari dan menumpuknya. Perlombaan itu berjalan brutal tanpa aturan. Marka-marka ditabrak, rambu-rambu digasak.

Karena materi digunakan sebagai ukuran, maka yang dianut adalah yang terlihat, yang digugu hanya yang tampak. Firman Tuhan dan sabda nabi hanya sepintas lalu menghiasi pandangan dan pendengaran. Gairah yang menghegemoni saat ini adalah harta yang dimaknai sebagai sarana utama menuju kebahagiaan.

Jika memang harta merupakan satu-satunya sumber daya menuju kebahagiaan, seharusnya para hartawan akan hidup tanpa masalah. Tapi nyatanya, masih saja ada orang yang menurut prasangka umum seharusnya tidak memiliki masalah, justru wajahnya nyureng, justru nir-senyum, malah bunuh diri, justru korupsi, dan sederet pertanda lain yang memvalidasi bahwa mereka bukanlah orang bahagia.

***

Sebenarnya, bukanlah hal yang keliru bila posisikan harta sebagai sumber kebahagiaan. Yang salah, harta digunakan sebagai satu-satunya sumber. Apabila diposisikan sebagai lantaran tunggal, siap-siap saja kita akan diperhambanya. Sadar akan fenomena ini, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menyinggungnya dalam beberapa forum di berbagai tempat yang selalu dihadiri oleh ribuan -- puluhan ribu pemirsa.

Cak Nun berkata, apa yang terjadi sekarang ini sebetulnya adalah hilangnya parameter manusia untuk memaknai dan menjalani kehidupan. Karena telah kehilangan alat ukur, maka apa-apa yang terjadi berikutnya adalah ketidaktepatan koordinat pengambilan keputusan. Cak Nun secara sederhana ingin bantu menyicil meluruskan hal-hal yang berbelok dari fitrah kesejatiannya.

Menurut Cak Nun, hal pertama yang harus dilakukan agar kita bisa menyicip kebahagiaan ialah menerima dengan senang hati apa yang ada di depan mata. Cak Nun mengumpamakan, kalau yang ada tempe goreng, dinikmati saja tempe itu dengan sebaik-baiknya. Bukan mengangankan dan menginginkan sop buntut. Jika yang terpikir hanya sop buntut, maka kita sedang mendapat kerugian dua kali. Pertama, tempe menjadi tidak enak, dan kedua, sop buntut tetap tidak kita dapatkan. Nelangsa 'kan?

Hal sederhana seperti yang diungkapkan Cak Nun seringkali kita lupakan atau bahkan sama sekali belum kita pahami. Cak Nun sedang mengajarkan bahwa segala hal yang terbaik ialah yang saat ini kita miliki. Sebab, hanya Tuhan yang paling tahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Percaya saja, jangan-jangan sop buntut yang kita impi-impi itu mengandung anthrax, membuat keloloden,atau terselip di gigi sampai tusuk gigi model apapun tak mampu mencungkilnya..

Kedua, Cak Nun menyatakan bahwa hal yang harus diubah dari sebagian besar manusia jaman ini ialah tujuan hidupnya. Mayoritas, sekarang ini menjadikan uang sebagai tujuan utama. Padahal, setelah uang dijadikan tujuan utama, maka apapun dan cara apapun akan dipilih. Setelah itu yang terjadi hanya kedekatan dengan malapetaka.

Cak Nun menyarankan agar kita mengubah tujuan hidup. Tujuan hidup yang seharusnya adalah mencapai kebahagiaan. Setelah paham bahwa tujuan hidup adalah bahagia, maka segala pikiran, ucapan, tindakan, dan kebiasaan akan diarahkan menuju ke sana.

Kebahagiaan sebenarnya searah dengan apapun yang baik-baik dan sesuai tuntunan. Perilaku baik dan lurus akan membuat jiwa menjadi tenang. Berlawanan dengan itu, tindak tanduk yang salah akan tercatat dosa, kemudian dosa akan membuat jiwa menjadi resah, dan hidup tidak jenak. Secara akumulasi, dosa-dosa membuat nurani ternoda dan akan membuatnya lemah sebagai mekanisme kontrol kejernihan lahir batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun