Mohon tunggu...
Ryan Mustafa Kamal
Ryan Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

struggling without giving up

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan Pertama Berbeda dengan Pertemuan Akhir

23 Februari 2021   19:35 Diperbarui: 23 Februari 2021   19:42 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara ketukan mesin ketik tua itu berirama di sela-sela buncah suara air hujan.daun jendela Kamar itu terbentang lebar-lebar. Angin malam yang dingin menderu masuk ke kamar berukuran 6x9 meter.

  Ketika saya keluar, Malam-malam gelap anak jalanan. Perkelahian. Mencuri. Malam-malam gelap sesak dengan banyak pertanyaan. Kerinduan kepada ayah dan ibu yang tidak pernah dimilikinya. Rasa iri ketika hari lebaran tib, menatap anak anak yang beruntung berbaris menuju lapangan. Pakaian baru. Mainan baru. Makanan berlimpah. Perasaan ini! Kerinduan atas hidup yang lebih baik. Berbagi. Merasa cukup. Sumpahnya untuk membalas seluruh keghidupan sesak itu. Dendam yang menjelma begitu hebat. Janjinya untuk menukar seluruh masa depan dan kebahagiaan di dunia. Itulah kata yang di ucapkan oleh anak jalanan yang tidak sengaja saya dengarkan.

 Waktu hubungan kami mulai kandas atau dalam ujung tali

Ketika aku memberikan pertanyaan ke dia,Ia tidak menolak pernyataanku, tetap tenang dengan senyuman kecil. Terkadang aku heran mengapa ia selalu bisa menanggapi situasi dengan tenang dan senyuman jika denganku. Apa senyumnya hanya sebatas untuk menutupi luka? Seusai pertemuan itu, ia tidak menghubungiku. Menghindariku sampai-sampai tidak menghubungiku. Mungkin dia sedang berusaha menuruti permintaanku. Atau tidak ingin sakit hati hanya karena melihatku?

Sebenarnya, menyakiti hati orang lain sama saja menyakiti diri sendiri. Entah kenapa, sejak ia menjauh, aku merasa ada yang kurang. Janggal dan hampa. Ingin kembali dan memperbaiki agar kita tetap berteman seperti biasa, tidak ada moment diam-diaman seperti ini. Namun, kerap kali aku akan mendekatinya, ia selalu terlihat baik-baik saja dan terlihat bahagia dengan orang lain. Serasa aku memang tidak pantas untuk sekedar berteman dengannya lagi. Aku tidak bisa membuatnya tertawa lepas seperti itu.

Aku pantas untuk kehilangan. Menyesal? Tidak. Kurasa, keputusanku mengatakan itu semua sudah tepat. Aku tidak ingin ia mengharapkanku terus-terusan padahal aku sangat ingin melupakan. Lebih baik, ia dengan orang yang jelas punya perasaan yang sama kan? Agar ia tidak bermimpi sendirian, agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

Bahkan sampai hari perpisahan, ia tidak melepas sepatah kata pun untukku. Melirikku saja sepertinya tidak. Ia terlalu asyik dengan orang-orang yang menyayanginya. Orang yang menyia-nyiakannya sepertiku, tak pantas untuk sekedar bertukar sapa lagi, apalagi bertatap dengan senyuman, apalagi tertawa bersama.

Namun semenjak berpisah dengan anisa, rasanya ada sesuatu yang hilang dariku. Selain keceriaannya, aku merasakan kehilangan sesuatu yang sepertinya berat aku lepaskan. Ya, jujur saja. aku menyukainya. Sayang bahkan. Beni-benih cinta itu sudah lama bersarang. Tapi perasaanku selama bersama anisa berujng akhir. Aku sealu mengingat masaku dengan anisa

Pernah suatu saat kami duduk bersama, tak sengaja kami beradu pandang dan saling melempar senyum sehingga membuat kami berdua jadi salah tingkah dan tertunduk malu. anisa sampai menutup wajahnya dengan kedua tangan saking malunya. Tingkahnya lucu namun menggemaskan. Aku berusaha menahan tawa. Ah, rasanya ingin kuulangi setiap saat moment indah dan langka itu. Sesaat namun sangat berkesan. Tapi bagiku, memiliki cinta anisa bagai sebuah dongeng di alam mimpi.

Kenangan terakhir yang masih tersisa dari anisa  adalah sepucuk surat dengan sampul berwarna biru, warna kesayanganku. Ya, anisa sangat mengenalku bahkan sampai ke hal-hal yang kecil sekalipun. Nah, saat kami bertemu dan minum bareng es boba itulah ia memberikan sebuah surat. Bahkan aku masih sempat menggodanya.

“Cie…cie, kayak anak kecil aja pakai surat-suratan!” Selorohku. Namun rupanya candaanku saat itu ditanggapi serius. Sorot matanya yang indah menatap tajam ke arahku tanpa berkedip sedikitpun hingga membuatku kaku, terdiam seribu basa. Kalau dulu aku berani menantang bahkan menikmati tatapan yang indah itu, kali ini nyaliku ciut. Seolah-olah aku berhadapan dengan sang hakim yang sedang menanti keputusan, dan surat itu adalah vonis penjara bagiku.
 “Jangan dibuka sampai aku kembali.” Pintanya datar saat itu. Aku hanya mengangguk lemas, seperti tak merelakannya pergi. Wajahnya tertunduk lesu setelah menyerahkan surat itu. Ada gurat sedih bergelayut di wajahnya. Ada apa denganmu anisa ? Gumamku dalam hati. Ini bukan dirinya. Anisa  yang biasanya ceplas-ceplos, main to the point, mendadak berubah. Namun baru saja aku ingin membuka suara, Ia sudah memunggungiku, berbalik melangkah dan berlalu tanpa menoleh atau berkata apa-apa. Seolah itu jadi isyarat bagiku, jika ia tidak akan kembali lagi. Aku hanya tertegun atas sikapnya itu. Kupandangi sosoknya hingga betul-betul lenyap di pelupuk mataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun