Mohon tunggu...
Ryan Faiz Fatkhurohman
Ryan Faiz Fatkhurohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa HI yang sudah selesai nonton GoT

Seperti yang diketahui, nama saya sudah jelas. Seorang moody-enthusiasm, tidak menginginkan tekanan dalam kerja namun lebih produktif saat work-in pressure. The Foxes & Singo Edan lovers. Kemampuan spiritual ialah mendengarkan cerita.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mekong Zone: Kawasan Emas yang Dianaktirikan ASEAN

28 Oktober 2021   22:59 Diperbarui: 29 Oktober 2021   08:17 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Luar Negeri masing-masing negara anggota ASEAN saling berjabat tangan simbol solidaritas

One Vision, One Identity, One Community

Satu visi, satu identitas, satu komunitas. Itulah kira-kira terjemahan dari motto ASEAN, sebuah organisasi regional yang ada di Asia belahan tenggara. Siapa sih mahasiswa di Indonesia yang tidak tahu soal ASEAN? Minimal, mereka pasti tahu kalau Indonesia anggota ASEAN. Didirikan pertama kali pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, ASEAN telah berkembang dari sebuah forum antar lima negara merdeka di Asia Tenggara menjadi wadah kerjasama regional di kawasan tersebut. Hanya Timor Leste (dan Australia tentunya) yang tidak/belum menjadi anggota ASEAN. Jika dilihat dari mottonya, kelihatan sangat mantap sekali organisasi yang satu ini.

Paling tidak, idealnya begitu. ASEAN memang berisikan 10 dari 11 negara Asia Tenggara, namun jika melihat identitas anggotanya dan isu yang disetujui untuk dibahas dalam ASEAN Annual Meeting, sulit melihat bahwa ASEAN merupakan satu komunitas utuh yang bekerja saling bersinergi. Jika dibandingkan dengan organisasi internasional serupa macam Uni Eropa, ASEAN masih punya banyak pekerjaan rumah terkait kekompakan dan solidaritas negara anggotanya. Salah satunya ialah, terkait pandangan terhadap permasalahan yang terjadi di kawasan Mekong.

Dengan panjang sejauh hampir 5000 km, sungai Mekong mengalir dari dataran tinggi Tibet ke kawasan Indochina, yang kemudian bermuara di Vietnam. Sungai Mekong mengairi Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Dapat dikatakan, aliran sungai ini merupakan roda penggerak peradaban pada kawasan tersebut. Sektor agrikultural menjadi sektor yang menghidupi masyarakat yang hidup di sekitarnya, sementara jalur perdagangan dan transportasi sungai ikut serta bergantung pada sungai Mekong. Inilah mengapa Sungai mekong dinamai Mae Khong-ibu dari semua sungai. Sungai Mekong ibarat ibu yang menganugerahi ekosistem yang hidup di sekitarnya.

Walaupun demikian, berlian tidak selalu membawa surga. Mekong juga membawa konsekuensi bagi negara-negara yang mengais rezeki di sana. Kawasan Mekong, menjadi kawasan yang vital dalam geopolitik Asia Tenggara dengan keberadaan China disana. Dengan ambisi pembangunan jalur sutera baru dunia, China secara agresif memberikan suntikan kapital melalui BRI Initiative bagi negara-negara berkembang untuk mengembangkan infrastrukturnya. Kawasan Indochina juga ikut mendapat manfaat. Bersama lima negara Indochina, China membuat kerjasama multilateral Lancang-Mekong Cooperation (LMC) pada tahun 2016. LMC bertujuan mendiskusikan pembangunan dam yang dilakukan di kawasan tersebut. China telah membangun 11 dam di Upper Mekong dan juga terlibat pada proyek-proyek di daerah hilir.

Sebagai organisasi yang mengusung semangat politik luar negeri bebas dan netral, ASEAN tentu tidak menginginkan pengaruh China lebih besar di Asia Tenggara. Semakin besar keterlibatan China di Asia Tenggara akan membuat Amerika Serikat berusaha masuk untuk meredam pengaruh China. Sebagai respons dari pertemuan ketiga LMC, AS mengadakan pertemuan Mekong-U.S. Partnership Senior Officials' Meeting. Masuknya dua kekuatan besar akan membuat gesekan meruncing, dan bisa saja menimbulkan konflik kepentingan baru. ASEAN tentu tidak memiliki keinginan membuat Asia Tenggara menjadi medan laga bagi hegemoni kedua negara.

Menurut Shaun Nerine, ada dua faktor penting yang mempengaruhi bagaimana kemampuan ASEAN dalam memanajemen keamanan regional di Asia Tenggara. Pertama, ialah bagaimana interest dan kebijakan yang dilakukan oleh aktor great powers. Great powers seperti China dan Amerika Serikat tentu punya ‘kekuasaan’ lebih dalam menjalankan kebijakan luar negeri mereka. Dan yang dilakukan ASEAN ialah menjadikannya parameter bagi security policies mereka. Kedua, perbedaan tujuan dan kepentingan nasional yang tajam antar negara ASEAN yang berbeda. Kedudukan ASEAN yang tetap menjaga kedaulatan setiap negara anggota, menjadikan ASEAN kesulitan membuat resolusi yang bisa menyenangkan semua pihak. Hal ini karena setiap negara memiliki perspektif berbeda dalam menyikapi suatu isu keamanan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai misal, adanya perbedaan pendapat antara Thailand dan Indonesia terkait serangan Vietnam ke Kamboja pada 1980an. Indonesia justru mendorong ASEAN agar dapat merangkul Vietnam menjadi anggota ASEAN, sehingga dapat memberikan blok pertahanan utara dalam menghadapi komunisme China. Sementara itu, Thailand yang dipimpin PM Chatichai, tidak mau menunggu langkah ASEAN karena terancam secara daratan. Apa yang terjadi, ialah kenyataan ASEAN bukan prioritas tertinggi negara anggotanya. Dan itu terjadi lagi pada masalah sungai Mekong.

Keberadaan sungai Mekong jauh lebih penting di kawasan kontinental Asia Tenggara, namun sering terpnggirkan dalam forum diskusi ASEAN
Keberadaan sungai Mekong jauh lebih penting di kawasan kontinental Asia Tenggara, namun sering terpnggirkan dalam forum diskusi ASEAN
Sungai Mekong memiliki masalah terutama jaringan narkoba dan lingkungan. Segitiga Emas narkoba Mekong adalah jaringan narkotika terbesar di Asia Tenggara, dimana tak jarang membuat konflik bersenjata dan pelanggaran HAM. Namun, peranan ASEAN dalam penanganan kasus terkait peredaran narkoba di sana sangat minim. China memiliki influence lebih besar dalam permasalahan tersebut. Berbanding terbalik dengan penanganan masalah kabut asap yang ditimbulkan oleh Indonesia.

Pembangunan infrastruktur dam juga memberikan dampak lingkungan. Endapan lumpur mengancam pertanian di delta sungai Mekong di Vietnam, sebagai salah satu pusat ekspor beras di dunia. Keberadaan bendungan tak ayal membuat ekosistem kawasan terganggu. Thailand dan Laos menjadi negara yang paling terkena dampak banjir. Namun, keberadaan dam memberikan dilema karena produksi listrik yang dihasilkan. Thailand dan Myanmar telah mengimpor listrik, sedangkan Laos menggantungkan 7% pendapatan negara dari ekspor listrik. Sementara pada 2020, China telah menguasai satu perusahaan listrik di Laos. Situasi ini tentu mengkhawatirkan bagi negara ASEAN non-Mekong. Akan tetapi sejauh ini, masalah Mekong selalu dilihat sebagai masalah subregional, dengan ASEAN bertindak sebagai bystander atau pengamat saja.  

Dengan melihat fakta yang telah terjadi, ASEAN harus mengambil langkah untuk dapat memberikan perhatian lebih bagi permasalahan Mekong. Selama ini, fokus agenda ASEAN ialah selalu terkait pada sengketa Laut China Selatan. Padahal saat ini, negara-negara kawasan Mekong mulai mmengalami ketergantungan dengan China. Dengan semakin meregangnya hubungan antara negara maritim dengan negara benua di ASEAN, akan berdampak pada keamanan kawasan juga. Keterikatan negara-negara kawasan Mekong terhadap China, akan berpengaruh pada sikap ASEAN dalam menghadapi sengketa Laut China Selatan, sesuatu yang menjadi mimpi buruk bagi Indonesia dan kawan-kawan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun