Mohon tunggu...
Ryan Agatha Nanda Widiiswa
Ryan Agatha Nanda Widiiswa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Amatiran yang hanya bisa Mengkritisi tanpa Solusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tak Terdidik Tak Layak "Sejahtera"?

20 Oktober 2013   16:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:16 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan teman ditempat kerja saya, kebetulan sekali ia berasal dari Belanda. Saya mencoba menanyakan tentang pendapatnya tentang sosialisme di negara asalnya, ia menjelaskan tentang bagaimana sosialisme diterapkan disana. Ia menjelaskan sosialisme diterapkan disana dalam bentuk pajak penghasilan yang tinggi sehingga "hampir" membuat disparitas antara si kaya dan si miskin "tidak lebar" berbeda dengan di Indonesia, dimana yang kaya membayar pajak yang rendah sehingga disparitas antara si kaya dan si miskin .

Ia juga mengatakan bahwa sangat sedikit orang yang memiliki pandangan politik ke "kiri ( sosialis )" karena kesejahteraan rakyat Belanda "hampir merata" sehingga untuk apa sosialisme ? , sedangkan sosialisme biasanya tumbuh pada negara yang kesejahteraannya belum merata seperti negeri Indonesia. Mungkin untuk lebih menjelaskannya kita memakai perbandingan gaji buruh dengan biaya hidup terendah.

Di belanda, buruh dibayar perjam sebesar empat ratus - lima ratus ribu rupiah seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda sehingga dalam sehari buruh di Belanda bisa mengantongi 4 juta rupiah serta 80 juta dalam sebulan dan belum dipotong pajak. Sedangkan biaya hidup terendah di Belanda mencapai 30 juta dalam sebulan, sehingga dapat dikatakan buruh di Belanda dibayar jauh diatas biaya hidup terendahnya.

Hal ini pula yang mendasari jarang sekali buruh disana yang berdemo menuntut "kesetaraan", secara awam dapat dikatakan sangat berbeda jauh dengan yang buruh di Indonesia yang sebagian besar dibayar sebesar batas biaya hidup terendah. Dan tentu saja berbeda lahan berbeda juga perlakuannya begitu pula perlakuan buruh Indonesia yang berbeda dengan buruh Belanda.

Berbicara tentang buruh di Indonesia pasti tidak menarik jika tidak berbicara tentang demo tuntutan kenaikan upah buruh. Mereka para buruh sudah "melek" laporan keuangan perusahaan sehingga menjadi hal yang lumrah ketika mereka sering berdemo menuntut kenaikan upah karena terjadi "ketimpangan" upah. Bagaimanapun kita tidak bisa menyalahkan buruh yang berdemo sepenuhnya karena jika kita tinjau ke lapangan, ada buruh yang berpenghasilan hanya sebatas umr dan pemilik pabrik yang berpenghasilan 200-400 kali dari upah buruh.

Tetapi tidak semua perusahaan memperlakukan upah yang memilik disparitas yang tinggi seperti itu dan alangkah bijaknya kalo saya tidak mengumbar nama perusahaan "asing" tersebut disini. Menurut pendapat awam saya, seharusnya UMR dihapuskan karena dengan adanya UMR, perusahaan besar dapat membayar murah buruhnya dengan dalih UMR dan perusahaan kecil menanggung biaya besar upah buruh dengan patokan UMR.

Dan sangatlah bijak jika di Indonesia ditetapkan pembatasan disparitas penghasilan yang terjadi dalam sebuah perusahaan, seperti yang sudah di terapkan di beberapa negara eropa, amerika latin dan tentu saja beberapa negara bagian amerika. Sehingga "take home pay" seorang pemilik perusahaan tidak boleh lebih dari 18 kali "take home pay" seorang bawahan yang paling rendah dalam perusahaan. Pembatasan "take home pay" ini bisa dilaksanakan menggunakan peraturan pajak penghasilan yang lebih besar tentunya. Pada akhirnya membuat perusahaan yang keuntungannya besar harus membayar upah yang besar terhadap buruh dan perusahaan dengan untung yang kecil dapat membayar upah yang kecil terhadap buruh tanpa harus mengurangi jumlah buruh.

Tentu saja dengan adanya pembatasan penghasilan ini dapat merubah situasi yang ada, dimana buruh tidak seharusnya menjadi sebuah komoditas saja yang tidak memiliki posisi tawar terhadap perusahaan menjadi situasi dimana perusahaan dan buruh saling membutuhkan. Bagaimanapun juga buruh merupakan roda produksi perusahaan sehingga tinggi rendahnya penghasilan perusahaan sangat dipengaruhi oleh adanya peran buruh. Mungkin untuk kondisi ekstrimnya, ketua buruh harus diikutkan dalam rapat direksi dalam pembahasan keuntungan perusahaan.

Tentu saja bukan hal yang mudah bagi pemerintah untuk melaksanakan hal ini dikarenakan banyak sekali kendala yang dihadapi terutama berasal dari kekuatan politik, walaupun pembatasan upah ini tidak melanggar dasar kehidupan perekonomian bangsa kita seperti yang tercantum pada pasal 33 UUD 1945 :

"Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan"

Dan jelas dengan adanya pembatasan penghasilan ini, perusahaan akan dijalankan lebih mengedepankan azas kekeluargaan jika dibandingkan dengan sistem UMR selama ini. Sekali lagi ini bukan hal yang mudah bagi pemerintah, karena menghapus adanya sistem pekerja kontrak pun masih belum terselesaikan 100 % . Mungkin diantara pembaca ada yang masih mempermasalahkan apakah perbandingan 1 : 18 wajar untuk buruh dan tidak terlalu besar ? saya pikir sangat wajar karena mengingat belum terhapusnya sistem pekerja kontrak dan belum adanya jaminan sosial yang memadai untuk kelas buruh. Tentu saja diantara pembaca ada yang mengeluhkan perbandingan tersebut yang terlalu besar untuk buruh karena kualitas pendidikan dan kualitas kemampuan buruh yang tidak bagus ( hanya bisa kerja kasar) . Untuk menjawab keluhan tersebut saya ingin mengajak untuk sedikit merenungi pertanyaan berikut ini :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun