Mohon tunggu...
Ryan Budiman
Ryan Budiman Mohon Tunggu... Freelancer - Sedang Menulis

Berbagi, sambil menata kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Penanganan Malaria Sejak Kolonial-Orba

15 Agustus 2012   12:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:43 2330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Ryan Prasetia Budiman, April 2010)

Pendahuluan

Malaria adalah penyakit reemerging, yakni penyakit yang menular kembali secara massal. Malaria juga adalah suatu penyakit tular nyamuk (mosquito borne diseases). Penyakit infeksi ini banyak dijumpai di daerah tropis, disertai gejala-gejala seperti demam dengan fluktuasi suhu secara teratur, kurang darah, pembesaran limpa dan adanya pigmen dalam jaringan. Malaria diinfeksikan oleh parasit bersel satu dari kelas Sporozoa, suku Haemosporida, keluarga Plasmodium. Penyebabnya oleh satu atau lebih dari empat Plasmodia yang menginfeksi manusia: P. Falciparum, P. Malariae, P. Vivax, dan P. Ovale. Dua P. Falciparum ditemukan terutama di daerah tropis dengan resiko kematian yang lebih besar bagi orang dengan kadar imunitas rendah. Parasit ini disebarkan oleh nyamuk dari keluarga Anopheles.

Penyakit malaria memiliki empat jenis, dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda.Yang pertama adalah malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika atau biasa disebut demam rimba (jungle fever), disebabkan oleh P. Falciparum. Malaria ini adalah penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Parasit ini menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Kedua, malaria kuartana yang disebabkan oleh P. Malariae. Jenis malaria ketiga adalah paling ringan, malaria tertiana yang disebabkan oleh P. Vivax. Jenis keempat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan adalah malaria ovale, disebabkan oleh P. Ovale. Walaupun ditularkan oleh nyamuk, penyakit malaria sebenarnya merupakan suatu penyakit ekologis. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak dengan manusia dan menularkan parasit malaria. Contoh faktor-faktor lingkungan itu antara lain hujan, suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, serta ketinggian. Air merupakan faktor esensial bagi perkembang-biakan nyamuk. Karena itu dengan adanya hujan bisa menciptakan banyak tempat perkembangbiakan nyamuk, yaitu akibat genangan air yang tidak dialirkan di sekitar rumah atau tempat tinggal. Nyamuk dan parasit malaria juga sangat cepat berkembang biak pada suhu sekitar 20-27 derajat C, dengan kelembaban 60-80 %.

Kata malaria sendiri berasal dari bahasa Italia yaitu Male dan Aria yang berarti hawa buruk. Memang pada zaman dulu, orang beranggapan bahwa malaria disebabkan oleh udara yang kotor. Sementara di Perancis dan Spanyol, malaria dikenal dengan nama “paladisme atau paludismo“, yang berarti daerah rawa atau payau karena penyakit ini banyak ditemukan di daerah pinggiran pantai. Malaria juga dikenal dengan istilah lain seperti marsh fever, remittent fever, intermittent fever, dan hill fever. Karena terkenalnya penyakit ini, penulis Inggris yang terkenal sepanjang abad ke 16-17, William Shakespeare, menggambarkan penyakit malaria dalam salah satu karyanya sebagai “The Caliban Curse“. Caliban adalah salah satu budak Afrika yang dikutuk dalam karya Shakespeare, The Tempest (1611).

Sebelum ditemukan penyebab yang ilmiah, malaria biasanya dihubungkan dengan kutukan tuhan atau pembalasan iblis. Mitologi Cina menggambarkan tiga iblis, yang satu dengan membawa palu, yang lain membawa ember berisi air dingin, dan yang ketiga dengan tungku api. Mereka melambangkan kelainan sakit kepala, menggigil dan demam. Selain penduduk cina, penduduk Belanda di Batavia menyebut penyakit ini sebagai kutukan dan gangguan roh jahat semacam orang kesurupan.

Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona (kina) yang sebenarnya beracun tetapi menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Kina mengandung lebih dari 20 alkoloid. yang terutama adalah kinina dan atabrine. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan atabrine atau kinina. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah dibandingkan obat-obatan lain yang lebih dulu ada. Klorokuin juga terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus. Di Indonesia sejarah kina dimulai pada tahun 1865, ditanam di Jawa dengan bibit yang dibawa oleh Charles Ledger dari Peru. Biji kina juga ditanam di India (Madras) tetapi memiliki kadar kinin rendah. Biji kina yang ditanam di daerah perbukitan di Bandung Selatan yaitu Pangalengan dengan ketinggian antara 800-1.950 dpl menghasilkan kina dengan kadar kinin yang lebih baik, dikenal pada waktu itu sebagai kina Jawa. Di daerah Pangalengan sampai sekarang masih terdapat perkebunan kina yang dikelola oleh PT Kimia Farma maupun oleh rakyat sebagai sumber pasokan untuk pabrik kina di Bandung.

Sebagai penyakit yang dapat menular kembali secara massal, malaria adalah penyakit yang berbahaya. Pada awal abad ke-20, penyakit ini menyerang anak-anak dan dewasa dalam setiap tahunnya dari 1000 jiwa penderita 100 diantaranya meninggal. Penyakit ini terkenal sebagai musuh negara, memiliki pengaruh yang sangat besar pada kesejahteraan rakyat, daya kerja rakyat, serta pembangunan. Hal ini dikarenakan parasit yang terdapat dalam tubuh penderita malaria dapat menghancurkan butir-butir darah merah yang sangat diperlukan oleh tubuh sehingga dapat menyebabkan penderita kekurangan darah, kekurangan gizi, dan pada akhirnya kekurangan tenaga. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda menggolongkan malaria sebagai penyakit pengancam kesehatan rakyat.

Laporan pertama mengenai penyakit ini di Indonesia (Hindia Belanda) adalah oleh tentara Belanda. Disebutkan bahwa adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854. Dengan serangkaian upaya penanganan, selanjutnya pemerintah kolonial Belanda mulai mengadakan pemberantasan malaria sejak tahun 1911, namun dalam kenyataannya pelaksanaan pemberantasan itu baru dapat dilaksanakan pada tahun 1914. Pada masa pendudukan Jepang, usaha pemberantasan malaria terhenti karena kebijakan pemerintah jajahan yang lebih dikonsentrasikan di bidang militer. Kemudian di era Indonesia merdeka, upaya penanganan preventif dan kuratif dilakukan guna mencegah dan mengurangi wabah penyakit ini.

Penanganan Malaria Era Kolonial

Penanggulangan penyakit malaria pada dasarnya merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemerintah kolonial membentuk jawatan/dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Selain itu ada pula upaya kuratif dengan pendirian layanan kesehatan yang mula-mula adalah melalui rumah sakit tentara. Jawatan kesehatan ini pada dasarnya merupakan lanjutan dari Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808 yang didirikan pada saat pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut.

Dalam perkembangan di bidang kesehatan saat itu, Sejak 1907, di beberapa kota besar diberlakukan peraturan verplichte doodschouw (kewajiban pemeriksaan mayat) yang dipersyaratkan untuk dapat memperoleh surat keterangan kematian. Dari hasil pelaksanaan peraturan tersebut, dapat diketahui urutan sebab kematian di 3 kota besar. Di Batavia, urutan sebab kematian adalah cholera, longtuberculose (TBC paru), tipus, malaria, dan disenteri. Urutan untuk Semarang adalah cholera, malaria, tipus, longtuberculose dan disenteri, serta untuk Surabaya malaria, longtuberculose, cholera, tipus, dan disenteri.

Penanganan malaria belum dilakukan dengan upaya yang tepat sampai akhirnya pada tahun 1882, Laveran (Charles Louis Alphonse Laveran, peraih penghargaan Nobel untuk Fisiologi dan Medis pada 1907) menemukan plasmodium malaria sebagai penyebab penyakit malaria, dengan penularan melalui nyamuk. Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman kesehatan rakyat di beberapa wilayah, maka di tahun 1911, jawatan kesehatan sipil didirikan sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria. Dari waktu ke waktu, lingkup kerja jawatan kerja sipil semakin meluas. Untuk itu, pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) didirikan. Dalam menjalankan fungsinya, Biro ini selalu bekerja sama dengan Bagian Penyehatan Teknik (gezondmakingswerken). Pada tahun 1929, Biro Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan kepulauan bagian timur. Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera, pelayanan dilakukan oleh cabang Medan.

Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan untuk menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa persediaan darah, mengadakan pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah. Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pembunuhan dan pencegahan berkembangnya jentik di sarang-sarang; pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk, dan sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah kontak antara manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam epidemi. Dengan penerapan riset yang berdasarkan penyelidikan yang tepat terhadap biologi nyamuk penyebab malaria, maka dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya.

Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara Species-assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di belakang tanggul. Cara kedua, yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran ini dibuat mulai dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian kinine, penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk, pemberian minyak tanah di sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah tinggal dan sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis. Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman, beberapa cara yang dapat dilakukan adalah seperti berikut. 1. Menghadapi An. ludlowi di kolam-kolam ikan tawar, yaitu dengan menembus tanggul untuk mengeluarkan airnya dan merubah kolam ikan menjadi sawah; 2. Cara biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah dalam kolam; 3. Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus (biasa ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang kurang terpelihara, dan persawahan) dilakukan cara pemeliharaan saluran air (saluran air masuk maupun pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari tumbuh-tumbuhan; penanaman padi secara serentak di persawahan yang pengairannya tergantung dari satu saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak digarap dalam dua masa penanaman; 4. Khusus An. maculatus, digunakan cara biologis dengan menanam tepi aliran/anak sungai dengan tumbuh-tumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi air dari cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah dari pada ”subsoil drainage” dan ”hillpoot drainage”).

Usaha-usaha saat itu masih terbatas pada usaha pemberantasan malaria yang dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang nyamuk, dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air dengan minyak tanah. Seusai perang dunia II, ditemukan obat DDT(Dichiloro Diphendyl michloroetan) yang dapat digunakan sebagai pembunuh serangga (insektisida dengan sistem penyemprotan rumah-rumah).

Selain pemberatasan tersebut, pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Walaupun tujuan awal pendiriannya tidak secara khusus menangani malaria, pada perkembangannya malaria menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan Dinas tersebut. Pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokero, dinas ini terpisah dari Dinas kuratif tetapi dalam pelaksanannya bekerjasama erat.Dalam hubungan usaha higiene ini perlu disebutkan nama Dr. John Lee Hydrick dari Rockefeller Foundation (Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik-beratkan pada Pendidikan Kesehatan Kepada Masyarakat. Ia mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Selain pendirian dinas tersebut, ada pula upaya kuratif yang dilakukan dengan pendirian rumah sakit. Di daerah Banyumas sebagai salah satu daerah endemis malaria, terdapat misi Zending Gereja-gereja Reformasi Rotterdam (penyebar agama Kristen). Rumah sakit pertama yang dibangun oleh misi Zending terdapat di Purbalingga yaitu desa Trenggiling sekitar awal abad ke-20. Rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Zending (Zendingsziekenhuis te Purbalingga) yang didirikan saat pemerintahan Raden Adipati Ario Dipakoesoema VIpada akhir abad ke-19. Tahun 1925 di kota Banyumas juga didirikan rumah sakit yang diberi nama Rumah Sakit Juliana. Rumah sakit tersebut diresmikan tepat bersamaan dengan ulang tahun Putri Mahkota Belanda Sri Ratu Juliana pada tanggal 30 April 1925. Rumah sakit ini dibuat dan dibiayai oleh pemerintah daerah (gewest). Tahun 1935, Zendingsziekenhuis te Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto) membuka cabangnya di Sidareja, Cilacap dalam bentuk klinik. Klinik ini banyak dikunjungi pasien kurang gizi karena daerah Sidareja dan sekitarnya sering dilanda kelaparan. Pasien lainnya adalah penderita malaria dan frambusia.

Pada perkembangannya, usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun berkembang pula ke-arah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 - 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils), perusahaan perkebunan. Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia II, pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat. Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (Productie capaciteit). Ketika masa pendudukan Jepang, upaya kuratif maupun preventif terhadap penyebaran malaria praktis terhenti. Hal ini karena pemerintahan pendudukan Jepang lebih fokus dan menitik beratkan arah kebijakannya pada kegiatan militer.

Era Indonesia Merdeka

Pada dasarnya sistem dan cara penanganan malaria tidak banyak berubah. Hanya saja disesuaikan dengan kondisi perkembangan teknologi dan kondisi sosial yang terjadi saat itu. Di tahun 1949 diadakan upaya pembasmian malaria secara serentak. Pada waktu itu Belanda sedang mengadakan eksperimen dan penyemprotan di beberapa daerah Yogyakarta dengan DDT(Dichiloro Diphendyl michloroetan).

Selanjutnya pada tahun 1950-1959 dilakukan penyemprotan secara berkala dengan DDT yang dibantu WHO (World Health Organization) dengan sistem Malaria Controle Program di seluruh Indonesia untuk melindungi 30 juta jiwa di daerah yang terkena wabah malaria dalam waktu lima tahun, dimulai pada tahun 1955 dan direncanakan akan berakhir pada tahun 1959. Akhir tahun 1958 telah berhasil dilindungi 17 juta jiwa dari wabah malaria ini. Hal ini terselenggara hanya di daerah di mana daerah tersebut mempunyai kondisi yang baik untuk menyelenggarakan usaha ini, seperti di Jawa, tetapi untuk daerah yang kondisinya tidak baik misal di Indonesia bagian Timur hasilnya kurang memuaskan.

Secara umum terdapat beberapa upaya penanganan malaria pada era di mana Indonesia merdeka. Penanganan ini terutama dengan jalan pengendalian vektor malaria. Pada periode sekitar tahun 1952 upaya pengendalian vektor ini dilakukan tanpa menggunakaninsektisida. Upaya yang dilakukan adalah dengan perbaikan saluran dan penyaluran irigasi agar alur air tertata dengan rapih dan meminimalisir genangan air, drainase, penimbunan dan pendistribusian obat kina. Pada periode 1952-1959 mulai dijalankan pengendalian vektor malaria dengan insektisida, yaitu dengan penggunaan DDT & Dieldrin. Ini dilakukan terutama di Jawa, kemudian diperluas ke daerah-daerah endemis lain. Hanya saja dalam perkembangannya, mulai terjadi resistensi (kekebalan) dari nyamuk penyebar malaria, terhadap insektisida ini. An. Aconitus terhadap Dieldrin dan An. Sundaicus terhadap DDT. Pada periode 1959-1968 dijalankan program pembasmian Malaria. Mulai tahun 1959 pembasmian Malaria dilakukan melalui program koordinasi KOPEM. Hanya saja, dikarenakan kondisi sosial dan politik dan juga ekonomi yang goncang, mulai tahun 1966 program ini mengalami kemunduran. Pada periode 1969 hingga dekade akhir abad ke-20, program pemberantasan Malaria terintegrasi dalam Yankes di Puskesmas. Di tahun 1997 dilakukan intensifikasi P2 (program pemberantasan) Malaria (Proyek ICDC-ADB/Intensification of ommunicable Disease Control – Asian Development Bank). Pada Dasarnya penanganan pemberantasan malaria ini dengan tujuan agar penyakit malaria tidak menjadi masalah krusial bagi kesehatan masyarakat.

Penutup

Malaria, sebagai penyakit yang diduga berumur ribuan tahun, dapat menyebabkan mortalitas yang merugikan suatu negara. Tidak hanya karena penyakit ini bersifat endemis dan dapat menular cepat melalui nyamuk Anopheles, lebih jauh penyakit ini dapat menyerang siapa saja, tak terkecuali angkatan produktif.

Penanganan penyakit malaria, dalam sejarahnya membuka wawasan kita bahwa penyakit ini dapat menjadi predator yang sukar untuk dibasmi. Meskipun penanganan kuratif atau pengobatan dan preventif atau pencegahan sering dijalankan, adanya resistensi nyamuk terhadap insektisida bahkan obat-obat kuratif semakin membuat jelas bahwa malaria dapat tetap abadi dalam perjalanan sejarahnya. Hal ini tentu jika tidak ada penanggulangan yang masiv ke depannya.

Ensiklopedi Indonesia 4. 1989. Jakarta:PT Ichtiar Baru - Van Hoeve

Ermi ML Ndoen. Malaria, pembunuh terbesar sepanjang abad. Tanpa data publikasi. Dalam http://kesehatanlingkungan.wordpress.com/penyakit-menular/malaria-pembunuh-terbesar-sepanjang-abad/. Diakses pada Minggu, 18 April 2010 pkl. 00.23

Darto Harnoko. 2008.Malaria Di Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sketsa Sejarah. Dalam Patrawidya. Vol. 9, No. 3. September 2008. Yogyakarta. Hlm. 505.

A.A Loedin. Keadaan Kesehatan di Batavia (bagian II) tanpa data publikasi. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. dalam http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/top-1.html Diakses pada Minggu, 18 April 2009 pkl. 00.35

Departemen Kesehatan RI. 2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. hlm. 6-7

Ibid. hlm. 7

Ibid. hlm. 8

Tsabit Azinar Ahmad. Penanggulangan Wabah Malaria Pada Masa Kolonial.Dalam http://www.scribd.com/doc/23418919/Penanggulangan-Malaria-Masa-Kolonial Diakses pada Minggu, 18 April 2010 pkl. 01.13

Ibid…

Ibid...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun