Sebuah catatan singkat untuk kisah yang panjang di tahun pertama. 22 Agustus 2017, Saya mengawali perjalanan dari Ibu kota Sumatera Selatan. Palembang yang kerap di kenal dengan kota Pempek.
Untuk menuju Oku sumatera Selatan saya sendiri menghabiskan waktu 10 jam dari ibu kota di hitungg dengan istirahat. Untuk pribadi saya sendiri ingin rasanya meninggalkan jejak dengan cara berjalan kaki. Hanya saja, waktu sedikit menusuk cepat untuk perjalanan saya.
Tentu untuk perjalanan kali ini saya tidak tertuju dengan Gunung Seminung saja. Saya bermalam di pesisir Danau ranau untuk mendirikan tenda. Setalah sampai di Danau Ranau yang menduduki danau terbesar ke-2 di Sumatera setelah Danau Toba ini.
Bukan hanya menunjukan keagungannya saja, melainkan juga memberikan suatu hal yang tidak bisa di percaya bahwa danau bisa memiliki Ombak yang begitu deras.
Hawa dingin menyeliputi kulit dari Tingginya Gunung Seminung yang tepat menghadap tenda saya. Membuat mata ingin rasanya menatap berlama - lama, terbawa ombak ke pesisir menidurkan lelah badan dari perjalanan.
Sebuah Potret juga tulisan yang mengisi keadaan saat itu.
Sore ini aku menatapnya lagi. Sembab, berlinang, kesenduhan. Sangat sulit untuk di tahan.
Teman bertanya. " Ada apa ? "
Aku tertunduk menjawab. Ada cinta, ada rindu, ada ingin, ada pergi, ada harapan yang harus dirundingkan ?
Dan ada segudang nafas langit sore bersama datangnya senja.
Keheningan, kataku, adalah rangkaian aksara yang menggantung pada rapuh rangka langit.
Dan pada desau angin berhembus pelan membelai dedaunan.
Di " rahim " ingatan, kata -- kata yang seharusnya ku ucapkan dengan lugas, berhenti pada basah bibirmu yang bergetar kelu.
Lanskap kesunyian menghadirkan kita bagai sosok -- sosok yang begitu akrab namun, jauh.
Meraihmu seakan merengkuh bayang -- bayang yang berkelebat cepat di pelupuk mata.
Ryan Kardiyanto, 22 Agustus 2018, Oku Sumatera Selatan, Indonesia.
Malam pun tiada begitu pun pagi yang telah menyambut,