Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jelang Pemilu 2024, Jangan Lupakan Tragedi Gugurnya 894 Petugas KPPS di 2019!

24 Februari 2023   03:40 Diperbarui: 24 Februari 2023   03:44 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konon, salah satu fitrah manusia adalah memiliki sifat pelupa. Karena itu, ungkapan "waktu bisa menyembuhkan apapun" menjadi sangat relevan dengan sifat manusia yang satu ini. Apapun luka hati yang terjadi kepada kita di masa lalu, seiring dengan waktu, kita akan belajar untuk melupakannya, atau setidaknya mengabaikannya hingga tidak mengganggu kita lagi, dan pada akhirnya membuat kita bisa melanjutkan hidup.

Urusan lupa melupakan ini, Indonesia adalah jagonya. Atau jika kita ingin lebih spesifik, Indonesia adalah jagonya melupakan tragedi. Mau bukti? Pada KLB PSSI yang dilakukan tanggal 16 Februari 2023 yang lalu, secara luar biasa tragedi Kanjuruhan yang terjadi tidak sampai lima bulan sebelumnya pada 1 Oktober 2022, hanya menjadi catatan kaki dalam agenda terpenting di kalender PSSI tersebut. Padahal, 135 orang meregang nyawa pada tragedi terburuk kedua dalam sejarah sepak bola dunia itu. 

Politik dan syahwat berkuasa lagi-lagi menjadi sorotan utama dalam KLB PSSI yang kali ini diwarnai oleh proses pemilihan yang diulang karena indikasi kecurangan, dan menghasilkan dua orang yang masih merangkap jabatan sebagai orang nomor satu dan dua di PSSI. Jangan mimpi laporan pertanggungjawaban tragedi Kanjuruhan akan menjadi agenda penting dalam kegiatan tersebut.

Jika tragedi sebesar Kanjuruhan dapat menguap dan dilupakan begitu saja dalam hitungan bulan, bagaimana kita dapat berharap Indonesia, atau setidaknya pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2024, dapat mengingat kembali tragedi pemilu lima tahun sebelumnya yang merenggut nyawa tidak kurang dari 894 petugas KPPS? Sebagian besar pembaca saja mungkin sudah lupa dengan kejadian tersebut jika tidak diingatkan kembali oleh judul tulisan ini.

Hasil evaluasi KPU yang disampaikan Arief Budiman, ketuanya kala itu, korban jiwa petugas KPPS berjatuhan karena mereka kelelahan menjalankan operasional pemilu yang begitu banyak, dimulai dari pengambilan kotak suara, pencoblosan di hari H, hingga penghitungan suara dan pengembalian kotak di hari berikutnya. Bayangkan saja, untuk melakukan semua pekerjaan itu secara benar, petugas KPPS bisa bekerja hingga dua hari non-stop. 

Padahal, petugas-petugas ini bukanlah orang pemerintah atau mereka yang bekerja secara profesional untuk menyelenggarakan proses pemilu. Petugas KPPS adalah orang-orang biasa, warga masyarakat yang diberi operasional seadanya oleh pemerintah, dan terlibat dalam proses pemilu lebih karena kepedulian mereka terhadap nasib bangsa ini. Di sana, ada anak-anak muda dan orang-orang lanjut usia yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

Salah satu sebab kenapa proses Pemilu 2019 bisa sangat berat di lapangan adalah karena pada saat itu kita melakukan pemilu serentak dengan memilih presiden, DPR, DPD, serta DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sekaligus. Akibatnya, petugas KPPS kewalahan dan kelelahan karena harus menangani jumlah surat suara berkali-kali lipat dari pemilu-pemilu biasanya. Lalu, bagaimana pemerintah menyikapi hasil temuan tersebut di Pemilu 2024 tahun depan? Dengan melakukan hal yang sama persis: memilih presiden, DPR, DPD, serta DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sekaligus. Jangan lupa, kita memang ahlinya melupakan.

Paling tidak, dengan dibayang-bayangi tragedi lima tahun lalu, pemerintah dan KPU bisa belajar banyak untuk menyelenggarakan pemilu kali ini dengan persiapan yang jauh lebih baik, bukan? Jawabannya adalah salah lagi. Persiapan Pemilu 2024, setidaknya berdasarkan temuan penulis di lapangan, adalah lebih buruk dari Pemilu 2019.

Di bulan Februari 2023 ini, atau tepat setahun sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024, proses persiapan pesta demokrasi tersebut masih terbilang kacau balau. Padahal, penulis mengambil sampel di DKI Jakarta, kota paling maju dan -- setidaknya sampai hari ini -- ibu kota pemerintahan Indonesia. Dengan Pemilu 2024 yang masih satu tahun lagi, kita berpikir pihak penyelenggara setidaknya dapat leluasa mengatur jadwal kerja secara layak dan sistematis. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Jadwal persiapan yang berubah-ubah menjadi hal yang biasa. 

Deadline yang mundur berulang kali, atau hal-hal sangat krusial seperti penetapan TPS yang bisa ditentukan secara mendadak dalam waktu hanya 2-3 hari saja adalah contoh buruknya praktek manajemen waktu yang dilakukan oleh KPU dan petugas-petugasnya di lapangan. Padahal, penetapan TPS dan daftar pemilih adalah salah satu faktor hidup matinya penyelenggaran Pemilu 2024 -- secara harfiah.

Kendala klasik seperti terlambatnya logistik juga masih menjadi masalah sehari-hari dalam proses persiapan pemilu di lapangan. Sebut saja misalnya kendala atribut petugas pantarlih yang tidak kunjung datang walaupun sudah masuk jadwal kerja mereka, sampai sistem pencatatan daring yang masih juga susah untuk diakses oleh petugas untuk membuat laporan. Padahal, KPU memiliki waktu lebih dari cukup untuk mempersiapkan semua hal ini agar dapat berjalan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun