Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Juventini, Selamat Datang di Banter Era!

22 September 2022   12:20 Diperbarui: 22 September 2022   12:33 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Italia adalah negara penghasil manajer-manajer hebat. Pemenang Liga Champions musim lalu adalah orang Italia. Antonio Conte adalah manajer revolusioner yang mungkin bisa disejajarkan dengan Pep Guardiola atau Jurgen Klopp, dan bahkan Roberto Mancini berhasil membawa pulang Piala Eropa dengan skuad yang tidak terlalu istimewa. Namun, Allegri bukan salah satunya.

Statistik mungkin berkata lain. Tujuh kali scudetto -- enam bersama Juventus dan satu bersama AC Milan -- serta dua kali runner-up Liga Champions adalah beberapa torehan emas Allegri. Namun, orang-orang mungkin lupa bahwa Allegri meraih scudetto dengan skuad terbaik yang ada di liga pada saat itu. Bahkan ketika ia mengantarkan Juventus ke final Liga Champions, Allegri dikalahkan oleh dua tim yang memiliki skuad lebih baik: Barcelona dan Real Madrid. Ketika dihadapkan pada status non-unggulan seperti pada saat ini, Allegri hampir selalu gagal membuat kejutan.

Masalahnya, Allegri tidak mempunyai banyak amunisi. Ia tidak memiliki fleksibilitas taktik layaknya Antonio Conte yang dapat merubah timnya sesuai keadaan. Allegri juga bukan motivator ulung seperti Carlo Ancelotti yang dapat membuat setiap pemain mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Dalam posisi tertinggal, Allegri hampir selalu mengandalkan formasi yang sama, dan dengan kumpulan pemain yang tidak percaya bahwa mereka adalah pemenang. Akibatnya, Juventus hanya dapat meraih kemenangan dari tim-tim yang di atas kertas berada di bawah mereka. Itupun tidak menjadi jaminan lagi belakangan ini setelah mereka memberikan kemenangan pertama kepada Monza pada pekan lalu.

Jadi, kecuali Allegri mau berubah secara dramatis, atau Juventus mengganti pelatih mereka, maka Juventini harus bersiap untuk melihat banter era klub kesayangan mereka terus berlanjut -- setidaknya hingga tahun 2025 ketika kontrak Allegri habis.

Mercato

Juventus adalah rajanya mercato alias bursa transfer. Jika kita melihat daftar transfer-transfer jenius dalam dua puluh musim terakhir, Juventus terlibat dalam banyak nama di antaranya. Sebut saja transfer Carlos Tevez, Paul Pogba (yang pertama setidaknya), hingga Andrea Pirlo. Semuanya adalah perpindahan pemain yang berhasil mengubah jalannya musim secara dramatis. Bonusnya, mereka semua datang dengan biaya murah -- bahkan gratis!

Namun, Juventus yang sekarang seperti mengalami amnesia total terhadap kekuatan mereka tersebut. Mercato adalah titik lemah Si Nyonya Tua, dan Juventus secara luar biasa berhasil menjadi lebih lemah setiap kali melalui periode transfer!

Lihat saja bursa transfer yang baru saja berlalu. Secara sensasional Juventus melepas bek masa depan, Matthijs de Ligt, dengan harga yang lebih murah daripada harga belinya, dan menggantikannya dengan pemain yang baru memiliki satu musim bagus, Bremer, yang berusia tiga tahun lebih tua dengan harga yang tidak jauh berbeda. Alih-alih memperpanjang kontrak Paulo Dybala, yang sudah terbukti bisa nyetel dengan sistem Juventus walaupun tidak selalu konsisten, Allegri malah mengorbankannya untuk Angel Di Maria yang enam tahun lebih tua dan merupakan debutan di ranah sepak bola Italia.

Masih kurang bukti? Juventus yang saat ini duduk di posisi delapan memiliki beban gaji per musim tertinggi di Serie A yang mencapai 158 juta Euro. Bandingkan dengan Napoli yang saat ini berada di puncak klasemen, atau AC Milan peraih scudetto musim lalu, yang sama-sama memiliki beban gaji tepat separuhnya, yakni 79 juta Euro.

Dibandingkan Manchester United pasca kepergian Sir Alex Ferguson, atau AC Milan di era 2010-an, banter era Juventus memang belum terlalu lama dan belum terlalu parah. Setidaknya dalam dua musim terakhir, I Bianconeri masih berhasil lolos ke Liga Champions walaupun lebih banyak karena faktor keberuntungan belaka. Namun, melihat situasi yang ada saat ini, sulit rasanya memprediksi kapan Juventus akan bangkit kembali. Kondisinya bahkan mungkin lebih buruk daripada ketika Si Nyonya Tua terdegradasi ke Serie B setelah tersandung calciopoli di tahun 2006 yang lalu. Setidaknya pada waktu itu, Juventus masih dapat mempertahankan sebagian pemain terbaiknya dan mereka lebih terlihat sebagai sebuah tim yang solid daripada sekarang.

Satu hal yang pasti, jika Keluarga Agnelli tidak segera mengambil langkah kuda yang dramatis untuk mengubah haluan kapal Si Nyonya Tua, siap-siap saja para Juventini melihat tim kesayangannya memasuki rimba banter era, bertahun-tahun puasa gelar tanpa masa depan yang pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun