Mohon tunggu...
Violla Reininda
Violla Reininda Mohon Tunggu... Pengacara - Konversi isi kepala.

Junior Associate pada Refly Harun and Partners; Peneliti Pusat Studi Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara; Instagram: @viorei_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nadia Lopez, Pendekatan Revolusioner Pendidikan, dan Apa yang Terjadi di Indonesia

7 Oktober 2016   11:04 Diperbarui: 7 Oktober 2016   11:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wawancara HONY bersama Vidal Chastanet yang dipublikasikan di akun Instagram @humansofny

I opened a school to close a prison,”

Sebuah pemikiran sederhana yang diungkapkan oleh Nadia Lopez pada Ted Talks: Education Revolution, yang mendorongnya untuk mendirikan dan membiayai Mott Hall Bridges Academy (MHBA) pada tahun 2010. Mengapa Lopez mesti menutup penjara? Sebab jeruji besi adalah rumah kedua bagi remaja Brownsville, Brooklyn, salah satu area dengan tingkat kriminalitas tertinggi dan daerah tertinggal di Kota New York. Mayoritas masyarakat Brownsville hidup di bawah garis kemiskinan dan mereka mencari nafkah dari kegiatan-kegiatan ilegal. Hal tersebut cukup mendeskripsikan kehidupan murid-murid di bawah naungan Kepala Sekolah Lopez.

Berawal dari wawancara Humans of New York (HONY) dengan salah seorang muridnya, Vidal Chastanet, pemikiran revolusioner Lopez menjadi pemberitaan viral di Amerika Serikat. Chastanet ditanya: “Siapa yang paling berpengaruh dalam hidupmu?”, ia menjawab:

“Kepala sekolahku, Ibu Lopez. Ketika kami melakukan kesalahan, beliau tidak menskors (menghukum) kami. Beliau memanggil kami ke kantornya dan menjelaskan bagaimana masyarakat di sekitar kita dilemahkan. Beliau berkata, setiap seorang anak tidak lulus sekolah, satu sel penjara dibangun (untuk melemahkan masyarakat). Suatu hari, beliau menggerakkan seluruh siswa untuk berdiri, di saat yang bersamaan, dan berkata masing-masing dari kami dipedulikan (oleh Lopez dan seluruh staf pengajar MHBA).”

Pendekatan Revolusioner Lopez

Mengabdikan diri di lingkungan masyarakat yang keras seperti di Brownville bukan hal yang mudah bagi Lopez. Seluruh siswanya berasal dari keluarga miskin, 86% dari mereka memiliki nilai matematika dan bahasa Inggris di bawah rata-rata, dan 30% dari siswanya berkebutuhan khusus. Ditambah lagi, tidak sedikit murid-muridnya yang terlibat dalam tindak kriminal di daerah tersebut. Dilansir dari blackenterprise.com, Lopez sempat berpikir untuk mengakhiri karirnya di dunia pendidikan, sebab ia tidak pernah mengetahui apakah upayanya selama ini berdampak baik bagi anak-anak muridnya. Namun pada suatu waktu, perilaku anak-anak yang tidak sopan terhadap orang-orang tua dan orang-orang dewasa yang tidak memiliki ekspektasi tinggi terhadap anak-anak tersebut mengubah pandangannya 180 derajat dan mempertanyakan dirinya sendiri: “Bagaimana saya bisa belajar dari anak-anak ini? Apa yang dibutuhkan sekolah ini dari saya?” Konflik batin inilah yang kemudian mengantarkan Lopez kepada pendekatan revolusionernya dalam pendidikan; mendengarkan dan menunjukkan apa yang tidak diketahui oleh anak muridnya. Sesederhana itu?

Ketika berbicara dengan siswanya yang bermasalah, mereka dibanjiri amarah. Hal ini sangat berdampak kepada performa mereka dalam kegiatan belajar mengajar, nilai mereka stagnan dan para pengajar diabaikan. Namun Lopez tidak lantas ngomel atau menghukum mereka. Ibarat menggunakan pistol, ada alasan yang mendorong telunjuk untuk menarik pelatuknya hingga peluru bisa ditembakkan. Maka dari itu, Lopez “mendengarkan” dan menjadi teman bicara bagi anak-anak ini, untuk mendalami mengapa “telunjuk mereka menarik pelatuk” sampai akhirnya “peluru”-nya mencoreng etika, untuk membantu mengakhiri kegusaran mereka. Menurut Lopez, ia yakin bahwa pada dasarnya kemarahan dan ketidaksopanan bukan sifat utama yang melekat pada diri mereka. Cara demikian jauh lebih beradab daripada menendang mereka ke penjara dan memutus masa depan mereka, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan masyarakat Brownsville. Ia selalu mengatakan bahwa seluruh muridnya penting, each one of them matters, ini tidak terlepas dari kondisi sosial Brownsville dan isu rasial yang terjadi di AS, yang dianggap mengesampingkan orang-orang kulit hitam. Di tengah masyarakat yang tidak memiliki ekspektasi terhadap anak-anak tersebut, Lopez dan para stafnya hadir sebagai orang-orang dewasa yang menaruh harapan pada mereka.

Lopez juga menyadari bahwa sehari-hari di luar sekolah, murid-muridnya menyaksikan kemunduran dalam peradaban akibat tindakan kekerasan dan kejahatan, seperti perkelahian antar geng, jual beli narkotika dan senjata api, atau perampokan. Menemukan tindakan ilegal tersebut sangat mudah di Brownsville, sebab komunitas tersebut tidak mengetahui cara lain untuk menghidupi diri mereka. Untuk menghindari murid-muridnya terjerumus atau terjebak di dalam lingkaran tersebut, ia memberikan terobosan, misalnya dengan mengadakan program enterpreneurship yang harus diikuti oleh murid kelas 7. Para murid juga dipertunjukkan acara Shark Tank, sebuah reality show di Amerika tentang kontestan calon pengusaha yang membuat presentasi bisnis di depan para panelis investor-investor “hiu” yang akan memilih untuk berinvestasi di bisnis mereka atau tidak, supaya murid-muridnya dapat memetik ide bisnis dan mempraktikkannya sendiri.

Selain itu, Lopez juga meyakinkan mereka bahwa mereka harus tetap berada di sekolah dan melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Ia menunjukkan bahwa ada cara lain untuk menyokong hidup tanpa menjadi bagian dari sindikat kriminal. Untuk menanamkan keinginan tersebut, ia mengirimkan murid-muridnya untuk tur ke Harvard University, dengan biaya dari kampanye penggalangan dana setelah Chastanet terkenal lewat Instagram HONY. Dorongan tersebut terbukti menaikkan tekad dan kepercayaan diri scholars MHBA, sebutan Lopez untuk murid-muridnya.

Banyak sekali komentar-komentar menarik yang diberikan siswa-siswinya setelah mengunjungi kampus nomor 1 di Amerika tersebut. Misalnya, Jamal, murid kelas 6 MHBA, mengaku bersekolah di MHBA membuatnya yakin untuk menjadi orang pertama dari keluarganya yang menginjakkan kaki ke perguruan tinggi dan mengubah nasib keluarganya. Zion, murid kelas 8 yang tidak ragu lagi untuk bercita-cita belajar di fakultas kedokteran meskipun ia memiliki keterbatasan dana, sebab bisa dibiayai oleh beasiswa. Isaiah, murid kelas 8, yang dengan lantang berkata, “Aku akan terus bersekolah, menyelesaikan SMP, lanjut ke SMA, dan mendapatkan gelar sarjana arsitektur!”. Laura, murid kelas 7 yang semakin termotivasi, more than she did before, untuk belajar di perguruan tinggi karena di dalam benaknya telah tergambar hal-hal menarik yang bisa ia lakukan di sana. Untuk apa hal tersebut dilakukan? Secara sederhana, untuk memutus rantai ketidakberadaban yang tecermin dalam lingkungan Brownsville.

Memperlihatkan Batang Hidung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun