Semua ini hanya tumbuh subur di era demokrasi. Tak ayal, runtuh sudah pendapat  yang mengatakan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebab pada praktiknya tak ada rakyat yang dilibatkan. Demokrasi hanya menghasilkan pemimpin abal-abal, mengaku cinta rakyat , namun faktanya cinta diri sendiri.
Mereka ngotot Pilkada tetap diadakan sembari pura-pura buta mata buta hati melihat setiap hari nyawa rakyat meregang, bagaimana Anis Baswedan hingga memberlakukan PSBB jilid 2 dan bagaimana para dokter dan nakes kelelahan dan lainnya?
Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat. Tapi bukan pendapat yang syar'i, melainkan pendapat yang memenuhi suara mayoritas meskipun itu salah bahkan tidak adil.
Islam solusi, mengapa? Sebab Islam bukan perkataan manusia, Islam datang sebagai ajaran yang mulia dari Wahyu Allah SWT, berarti pasti akan sesuai dengan fitrah penciptaan manusia dan akan benar-benar mampu mewujudkan pemimpin yang mencintai rakyat tanpa ada tendensi tertentu.
Pemimpin dalam Islam akan lebih takut azab Allah SWT akan menimpa dirinya jika ia berlaku semena-mena.Â
Itulah mengapa Islam melarang perempuan memangku jabatan sebagai penguasa, sebab kemudaharatannya akan lebih banyak. Buat apa cakap dan kapable jika tidak berkah?Â
Birokrasi dalam pemilihan pemimpin pun mudah , disyariatkan kaum Muslim tidak boleh kosong dari pemimpin lebih dari 3 hari, sehingga ini akan memangkas ratusan bahkan milyaran rupiah biaya yang selama ini tidak jelas peruntukannya. Sebab, menjadi pemimpin dalam Islam essensinya bukan raja yang harus dilayani, tapi pelayan umat yang harus melayani dan menyayangi. Wallahu a' lam bish showab.