Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Topeng Itu Tersingkap

22 Juli 2019   08:25 Diperbarui: 22 Juli 2019   08:36 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Parahnya, hukum di Indonesia ini tak adil. Dalam ketentuan pidana dari Pasal 111 sampai Pasal 126 UU Narkotika menyebutkan jika terduga pelaku terlibat dalam mengedarkan, menyalurkan, memiliki, menguasai, menjadi perantara, menyediakan, menjual-belikan, melakukan ekspor-impor narkotika tanpa izin pihak berwenang, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara antara 2 (dua) sampai 20 (dua puluh) tahun, bahkan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, tergantung dari jenis dan banyaknya narkotika yang diedarkan, disalurkan, atau dijual-belikan.

Namun  jika terduga pelaku hanya sebagai pengguna narkotika dengan jumlah tertentu, maka secara hukum dapat direhabilitasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU Narkotika, yang berbunyi: "Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial."  

Artinya,  seorang pengguna narkotika harus diposisikan sebagai korban peredaran narkotika agar bisa direhabilitasi, sehingga memang sudah seharusnya wajib direhabilitasi agar korban dapat pulih kembali, baik secara medis maupun sosial.

Paradigma inilah yang membuat peredaran narkoba bak lingkaran setan. Pengguna bisa diposisikan sebagai korban hanya agar supaya dapat " hukuman" rehabilitasi. Bukankah karena permintaannya sehingga narkoba masih dicari? bukankah karena banyak peminatnya maka banyak orang memanfaaatkan peluang bisnisnya, hingga beberapa waktu lalu muncul kasus peredaran narkoba disetir oleh napi dalam penjara.

Dimana letak hukuman itu bisa menjerakan pelaku? indikator utama pengguna dapat direhabilitasi adalah jumlah barang bukti yang ditemukan tidak melebihi jumlah tertentu. 

Jika barang bukti yang ditemukan polisi adalah narkotika jenis sabu-sabu yang tidak melebihi satu gram dan hanya digunakan untuk konsumsi pribadi, bukan untuk diedarkan atau dijual-belikan, maka sesuai dengan angka 2 huruf b Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, terduga pelaku dapat direhabilitasi.

Sungguh, patutlah kita menangisi sistem yang tak manusiawi ini. Korban yang terus berjatuhan dari berbagai kalangan , tua muda, pelajar ibu rumah tangga dan lain sebagainya yang meregang nyawa karena zat haram ini tak membuat penguasa bergeming. 

Mereka terus saja membuat kebijakan yang menyenangkan pengusaha narkoba. Negara tak memiliki kedaulatan dihadapan kartel besar narkoba. Narkoba menjadi komoditi utama kaum kafir.

Kaum muslim menjadi sasaran empuk, dengan narasi sesat, narkoba dijadikan senjata bersamaan dengan digencarkannya kehidupan sekuler liberalis.  Dimanakah hati nurani kita? sesungguhnya Islam telah memuliakan manusia diatas makluk ciptaanNya. Ketika syariat menyandarkan taklif hukum pada akal, maka Allah menurunkan seperangkat aturan guna menjaga akal tersebut. 

Diantaranya dengan tidak toleransi terhadap peredaran narkoba. Kemudian akan dibangun suasana keimanan yang tinggi agar manusia menggunakan sebaik-baiknya waktu yang ia miliki untuk hal yang paling utama, yaitu ibadah.

Dengan keimanan yang kuat dan keyakinan bahwa Allah Maha mengawasi akan membuat manusia menjadi pribadi yang produktif tanpa harus ditutupi topeng.  Bekerja benar-benar bernilai ibadah, bukan eksploitasi maupun kerja rodi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun