Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jebakan Amplop Angpao

16 Mei 2019   10:58 Diperbarui: 16 Mei 2019   11:03 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Banyak hal bisa jadi cerita ketika kita sebagai orangtua sedang mendidik anak untuk mulai puasa. Pada awalnya pasti ada rasa ragu, sanggupkah saya sebagai ibu menahan sabar menghadapi rengekan anak? belum lagi celoteh teman-teman atau tetangga yang aneh-aneh bahkan ada yang cenderung menyalahkan kita.

Secara teori tak ada patokan baku usia berapa anak kita ajari berpuasa, selagi mereka bisa tetap beraktifitas dan nafsu makannya normal tentu bisa kita latih. Toh waktunya bisa bervariasi, masyur ada istilah " puasa bedug" alias boleh berbuka ketika sudah terdengan adzan duhur.

Maka kuncinya adalah pada ketetapan hati kita sebagai orangtua. Dan saya ternyata bisa menerapkan puasa ketika anak-anak usia TK A  meskipun baru puasa bedug  dan full ketika TK B. Memang bukan prestasi yang luar biasa, karena saya pernah baca ada yang lebih kecil lagi usianya dibanding anak saya. Tapi keyakinan saya, setiap anak itu istimewa, begitupun setiap orangtua. Dan Allah tak akan salah meletakkan amanah pada setiap hambaNya.

Tak terbilang mereka yang menghujat, kejamlah, keraslah, sampai ada yang bilang tak punya hati nurani. Jalan terus, pantang berhenti. Bukankah setiap diri adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban? Suami pemimpin bagi keluarganya, istri pemimpin bagi diri dan anak-anaknya. Jadi biarlah anjing menggonggong kafilah berlalu.

Awal belajar puasa, salah satu daya tariknya adalah hadiah, suami menetapkan 10 ribu setiap hari peranak ketika itu. Dan manjur, mereka semangat, menghitung hasil perolehan mereka setiap hari. Beranjak dewasa, nominalnya bertambah, tapi masyaallah...ketika mereka sudah SD malah mereka tak terlalu peduli lagi. Bisa jadi pemahaman yang saya berikan setiap hari masuk ke benak mereka. Sehingga akhirnya yang mereka pahami adalah puasa itu ibadah. Dan pahalanya mengalahkan hadiah yang mereka terima setiap tahunnya, beribu-ribu kali lipat. Alhamdulillah..

Namun, ada saja ujian berikutnya...yaitu tradisi angpao yang akan mereka terima setiap mudik dan bersilahturahmi ke keluarga besar. Dulu, angpao mereka menjadi angpao emak...hehehe, ternyata sekarang angpao mereka ya angpao mereka, mulai bisa protes kalau emak ngekepin di dompet ( maklum, setiap anjang sana yang bawa dompet cuma emak).

Entah sejak kapan tradisi tukar angpao itu dimulai. Apakah sejak bangsa Cina berinteraksi dengan orang Indonesia? yang jelas setiap daerah angpao itu ada hanya beda istilah. Bagus sih, bisa jadi itu salah satu uslub mempererat silahturahmi. Dengan saling berkunjung dan memberi hadiah. Menumbuhkan cinta dan kebersamaan.

Namun, seiring jaman, fungsi angpao bergeser. Kalau bahasa kerennya sejak Kapitalisme menjadi tolok ukur setiap perbuatan, angpao menjadi alat pengukur prestise seseorang. Sehingga kini mau silahturahmi kemana itu bisa jadi ada listnya, dicari keluarga yang berada dulu, yang terkenal kalau kasih angpao banyak. Anak seakan jadi mesin uang dadakan, tidak dikenalkan essensi silahturahminya, tapi diberi doktrin, mau gak angpao banyak? kalau ke paman itu pasti nanti dapatnya banyak, mangkanya nanti salim ya....

Ahhh...sesak dada, maunya sekedar meramaikan. Tapi perih juga ketika di acara pertemuan keluarga tahu-tahu ada anak yang langsung buka amplop angpaonya dan berkata," ya ..ma...cuma 5000" . Pasti suasana hati semua orang campur aduk. Terlebih sang pemberi, karena bisa jadi itu harta terbaik yang mereka miliki. Pernah juga mendengar seorang anak yang saling memperlihatkan " perolehan " angpaonya. Dan yang lain menyebutkan untuk apa uangnya itu nanti.

Mungkin lebih bijak jika kita memberitahu anak bahwa saling memberi hadiah memang disyariatkan,  tapi menjaga adab, menghormati orangtua, mengucap syukur atas rizki yang didapat, syukur atas kesehatan, ketetapan iman dan berkahnya menyambung silahturahmi itulah yang harusnya kita tanamkan. Menjadi PR besar bagi kita sebagai orangtua, agar apa yang sunah tidak menjadi haram karena dicampur adukkan antara yang haq dan batil.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun