Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Terbaik Itu Berat

24 September 2018   20:16 Diperbarui: 24 September 2018   20:24 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi Terbaik itu Berat

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Allah menciptakan manusia telah sempurna, bentuk phisik berikut potensi-potensi yang ada padanya seperti berbagai gharizah( naluri) dan hajatul udwiyah( kebutuhan asasi). Semua itu dalam rangka melestarikan jenis manusia itu sendiri dan demi tersebarnya agama Allah di seluruh muka bumi . Karena dengan status tertinggi sebagai hamba Allah, maka membentuk ketaatan yang totalitas itu mutlak.

Telah menjadi tabiat manusia, jika ingin meraih predikat terbaik dalam hal apapun, demikian pula ketika telah mengazzamkan  diri untuk hijrah, maka dakwah adalah sebuah keniscayaan. Namun dakwah tidak mudah. Butuh komitmen tinggi. Baik dari tsaqofah maupun kemauan diri. Terlebih ketika dikatakan bahwa dakwah adalah warisan para nabi, dan Allah sendiri paling menyukai lisan untuk berdakwah. Bagi pengembannya balasannya adalah surga.

Faktanya menempa diri menjadi pribadi yang lebih baik  tidak semudah membalikkan tangan. Musti bisa menghalau jauh-jauh pikiran "saya hanya ingin mengaji" atau " Saya hanya ingin berilmu" atau yang sedikit keren " Saya tak mau bodoh di hadapan anak-anak"..dan sebagainya. Ya itu hukumnya mutlak, agar hanya pemikiran Islam saja yang menancap. 

Jadi, menjadi muslim tidak cukup hanya mengatakan syahadat ya saya sudah beriman, namun harus diikuti dengan amal nyata. Semua membutuhkan kesadaran yang kuat hingga dakwah menjadi kebutuhan.

Benar saja "siksaan" itu datang. Semakin dijalani semakin menjadi beban. Dan pengalaman menggelikan karena  sempat mengalami pilek selama 3 bulan. Diagnosa dokter pertama, radang otak, diagnosa dokter kedua stres, dan saya memilih diagnosa kedua. Karena memang itulah adanya, huruf arab tanpa harokat, materi yang asing susah dicerna. Luar biasa!

Tapi kemudian ketika saya berusaha  memaksakan kebaikan menjadi kebiasaan justru yang saya  rasakan adalah kenikmatan .  Satu ayat diketahui satu ayat itu pula coba dikerjakan dan istiqomah. Di dalam  kajian inilah kembali saya mendorong diri sendiri untuk taat. Pertama  menutup aurat,  kembali memompa daya juang menjadi pribadi yang lebih baik.  Berusaha sekeras mungkin untuk duduk di tempat yang disukai Allah, yaitu berlomba-lomba dalam kebaikan.

Dari hanya diterapkan untuk diri sendiri, beralih mengajak orang lain agar sama dengan kita. Dan tanpa terasa itulah dakwah...Masyaallah saya menjadi bagian didalamnya. Tak lelah senantiasa menempa diri dan meninggalkan kebodohan di belakang dengan pasti. Tajuknya ingin menjadi yang terbaik, setidaknya untuk diri sendiri, karena musuh terbesar sejati adalah diri sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun