Jika melihat gelaran Asean Games sejak awal pembukaan Agustus lalu. Dalam hati berdecak kagum, mulai dari opening ceremonial yang megah membahana, hingga laporan harian dari semua media televisi dan online yang tak pernah telat dari jadwal siarannya. Menyiarkan setiap cabor ( cabang olahraga) lengkap dengan komentar dan yel-yelnya. Â Bahkan promo video masing-masing cabor di Instagram juga muncul begitu saja sejak dimulainya ajang olahraga seAsean itu.
Namun kemudian tersadar, betapa lihainya kapitalisme mengambil kesempatan. Perekonomian Jakarta-Palembang sejak sebelum even besar itu digelar sudah mulai berbenah.  Even besar, tak hanya mampu  mendatangkan banyak orang namun juga banyak peluang peningkatan pendapatan. Dengan kemasan meraih prestasi semua pihak yang berkapital dan yang punya relasi berlomba-lomba menyesap manisnya peluang.  Tak lagi ada halal dan haram, bahkan tak canggung melihat aurat dan berikhtilat. Tak ada malu ketika begitu mudahnya atlet basket dari Jepang menemukan PSK, dan berita terakhir di Palembang penjaja seks muncul bak jamur di musim penghujan, melalui medsos mereka menjajakan kenikmatan sesaat dengan berbagai tarif.
Belum lagi jika melihat pagelaran opening ceremonial yang memakan biaya hingga 685 milyar ( tempo.co/19/8/2018) kiranya akan terulang nanti ketika closing ceremonial tanggal 2 September 2018. Bahkan presiden Jokowi diagendakan akan melihat acara penutupan dari pulau Lombok. Akankah duka Lombok sembuh dengan nobar acara closing ceremonial? Yah, inilah jadinya jika olahraga dikapitalisasi.
Miris, setelah Lombok mengalami gempa yang bertubi-tubi, infrastruktur belum pulih seperti sediakala, trauma belum hilang bahkan ada ancaman pemurtadan tidak membuat pemerintah memikirkan ulang apakah memang perlu sebuah acara semewah itu?
Kiranya saudara kita di Lombok tak membutuhkan itu. Namun keputusan yang berpihak pada nasib mereka adalah lebih diharapkan , bahkan lebih mulia di hadapan Allah.
Olahraga adalah sebuah keharusan. Karena di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Rasulullahpun senantiasa memerintah kaum muslimin untuk memperkuat badan dengan latihan berkuda, memanah dan berenang. Namun menjadi haram jika olahraga itu mengantarkan kepada pelanggaran hukum syara.
Jika kita muslim, hendaknya kita sadar bahwa melalui olahraga inilah sistem liberal dan sekuler hendak menancapkan kukunya hingga kaum muslim terlalaikan. Kapitalis hanya ingin memanfaatkan apa yang nampak lahiriyah sementara pandangannya semestinya jauh ke depan, yaitu surga, sehingga dia akan senantiasa menjadikan amal sepanjang usianya dengan menjadi hamba Allah. Wallahu a'lam biashowab.
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih