Toxic work culture atau budaya kerja yang merusak kini menjadi masalah serius di banyak perusahaan di Indonesia. Berdasarkan survei terbaru yang melibatkan lebih dari 1.000 karyawan dari berbagai sektor, hampir 70% di antaranya mengaku mengalami stres akibat kebijakan manajemen yang buruk dan lingkungan kerja yang tidak sehat.
Toxic work culture merujuk pada lingkungan kerja yang penuh ketegangan, stres berlebihan, serta hubungan antar karyawan dan atasan yang tidak harmonis. Dalam situasi seperti ini, karyawan sering merasa tidak dihargai, tertekan, dan bahkan terisolasi. Masalah-masalah ini sering kali dipicu oleh kebijakan perusahaan yang tidak memprioritaskan kesejahteraan karyawan dan manajemen yang tidak responsif terhadap masalah yang dihadapi staf mereka.
Toxic work culture biasanya muncul ketika perusahaan gagal menciptakan lingkungan kerja yang mendukung perkembangan karyawan, baik secara profesional maupun personal. Ini bisa berujung pada berkurangnya motivasi, penurunan kinerja, hingga gangguan kesehatan mental.
Salah satu masalah terbesar yang berkontribusi pada budaya kerja yang merusak adalah beban kerja yang tidak tertangani dengan baik. Riset dari Asosiasi Manajemen SDM Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 60% karyawan mengeluhkan jam kerja yang berlebihan dan penugasan yang tidak sesuai dengan kapasitas mereka. "Kami harus bekerja lembur hampir setiap hari tanpa kompensasi yang jelas. Ini membuat kami merasa seperti mesin yang hanya diperas tenaganya," ungkap seorang karyawan perusahaan teknologi yang enggan disebutkan namanya. Beban kerja yang berlebihan dan kurangnya dukungan dari manajemen menjadi faktor utama yang membuat karyawan merasa terjebak dalam lingkungan kerja yang tidak sehat.
Stres berkepanjangan akibat toxic work culture tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental karyawan, tetapi juga berpotensi menurunkan kinerja mereka. Karyawan yang merasa tidak dihargai dan terbebani dengan tekanan pekerjaan cenderung menjadi kurang produktif, lebih sering absen, dan bahkan akhirnya memutuskan untuk resign. Fenomena quiet quitting atau berhenti tanpa benar-benar keluar dari pekerjaan, semakin meningkat karena karyawan merasa tidak ada harapan lagi untuk perubahan.Selain itu, stres yang terus-menerus juga dapat menyebabkan gangguan fisik, seperti masalah tidur, kelelahan, dan bahkan gangguan jantung.
Tentu saja, perusahaan tidak bisa terus menerus membiarkan masalah ini berlangsung tanpa tindakan. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh perusahaan:
1.Meningkatkan Keterlibatan Karyawan
Manajemen harus mendengarkan suara karyawan dengan serius. Survei kepuasan kerja rutin dan sesi feedback sangat penting untuk mengetahui perasaan dan harapan karyawan terhadap perusahaan.
2.Fleksibilitas Kerja dan Keseimbangan Hidup
Memberikan fleksibilitas lebih kepada karyawan dalam hal jam kerja atau lokasi kerja dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas.
3.Menyediakan Program Kesehatan Mental
Banyak perusahaan yang sudah mulai menyediakan layanan konseling dan dukungan psikologis untuk membantu karyawan mengelola stres. Program ini perlu diperluas agar lebih banyak karyawan yang merasakannya.
4.Promosi dan Penghargaan Berdasarkan Kinerja
Menciptakan budaya yang adil dalam hal penghargaan dan promosi, di mana karyawan dihargai berdasarkan kontribusinya, bukan senioritas atau hubungan pribadi.
5.Peningkatan Komunikasi dalam Tim
Manajemen harus memastikan adanya komunikasi yang terbuka dan transparan. Ketika karyawan merasa didengar dan dihargai, mereka akan lebih termotivasi untuk bekerja dengan baik.
Dengan semakin meningkatnya angka resign dan burnout, perusahaan tidak bisa lagi mengabaikan pentingnya menciptakan budaya kerja yang sehat. Jika perusahaan gagal memperbaiki manajemen dan budaya kerjanya, mereka tidak hanya berisiko kehilangan karyawan terbaik, tetapi juga reputasi sebagai tempat kerja yang baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI